NEW YORK, KOMPAS.com - Elon Musk selangkah lebih dekat mengamankan status sebagai eksekutif dengan paket kompensasi terbesar sepanjang sejarah.
Tesla resmi menawarkan skema gaji jumbo senilai 1 triliun dolar AS atau sekitar Rp 16,4 kuadriliun. Paket ini dirancang untuk menjaga fokus Musk pada Tesla, meskipun produsen mobil listrik itu tengah menghadapi tantangan serius di pasar global.
Menurut dokumen proksi yang dirilis Jumat (5/9/2025) waktu setempat, orang terkaya di dunia ini berpeluang mendapatkan 423,7 juta saham tambahan Tesla jika perusahaan berhasil melampaui target valuasi yang sangat ambisius.
Baca juga: 10 Orang Terkaya di Dunia September 2025, Elon Musk Tetap Nomor 1
Dengan harga saham saat ini, saham itu bernilai 143,5 miliar dollar AS. Namun untuk mendapatkannya, Tesla harus mencapai kapitalisasi pasar sebesar 8,5 triliun dolar AS, jauh di atas valuasi sekarang yang sekitar 1,1 triliun dolar AS.
“Ini paket kompensasi yang besar, tapi Tesla perlu mempertahankan aset terbesarnya, yaitu Musk sebagai CEO,” ujar analis Wedbush Securities Dan Ives, dikutip dari CNN, Sabtu (6/9/2025).
“Di era AI ini, Musk akan memimpin pertumbuhan Tesla ke tahap berikutnya. Dewan punya keputusan senilai 1 triliun dollar AS dan mereka mengambil langkah yang tepat.” tambah dia.
Angka tersebut seperti dilansir Reuters, mencerminkan betapa besar pengaruh Texas, markas hukum baru Tesla, dalam melindungi perusahaan dan manajemennya.
Tahun lalu, Tesla memindahkan badan hukum perusahaannya dari Delaware ke Texas. Langkah ini diambil setelah hakim Delaware menyebut kompensasi Musk sebelumnya senilai 56 miliar dollar AS tidak masuk akal dan merugikan pemegang saham.
Sejak saat itu, Musk menyerukan agar perusahaan lain juga meninggalkan Delaware.
Kini, berkat regulasi korporasi Texas yang lebih ramah manajemen, peluang kompensasi Musk disetujui semakin besar. Risiko gugatan hukum pun jauh lebih kecil.
“Mereka (Tesla) sepenuhnya terlindungi dari gugatan pemegang saham di Texas,” ujar Ann Lipton, profesor Hukum di University of Colorado Law School, seperti dikutip dari Reuters.
Berbeda dengan paket tahun 2018, kali ini Musk berhak menggunakan hak suaranya, yakni sekitar 13,5 persen saham.
Dokumen sekuritas yang dipublikasikan Jumat lalu menunjukkan bahwa kepemilikan Musk sekitar 411 juta saham, hampir sebanding dengan 529 juta suara yang sempat menolak paket 2018. Dengan modal itu, persetujuan hampir dipastikan berada di tangannya.
Tesla juga segera mengadopsi aturan baru yang memperketat syarat gugatan pemegang saham, yakni kepemilikan minimal 3 persen saham. Praktis, hanya Musk dan tiga manajer aset besar—Vanguard, BlackRock, dan State Street—yang memenuhi syarat. Namun, ketiganya merupakan investor pasif.
Langkah ini memicu kritik. “Kami percaya ini adalah upaya menutup mata pemegang saham,” tulis New York State Comptroller dalam usulan yang diajukan di pernyataan proxy hari Jumat waktu setempat.
Lembaga itu meminta pemegang saham membatalkan aturan ambang batas 3 persen pada rapat tahunan mendatang.
Meski demikian, Musk tetap dalam posisi sangat kuat. Ia bukan hanya CEO dengan kompensasi terbesar, tetapi juga pengendali suara yang menentukan arah Tesla.
Bagi investor yang tidak puas dengan kebijakan ini, Lipton menyarankan langkah paling sederhana: “Kalau tidak suka, jual saja sahamnya,” katanya.
Baca juga: Dilibas BYD, Penjualan Tesla di Eropa Anjlok 40 Persen
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini