JAKARTA, KOMPAS.com — Fenomena September Effect kembali jadi sorotan pasar keuangan global. Sejak puluhan tahun lalu, bulan ini kerap menjadi periode terlemah bagi indeks saham Amerika Serikat (AS). Rata-rata kinerja saham AS tercatat lebih rendah dibanding bulan lain, karena investor institusi biasanya melakukan rebalancing portofolio menjelang akhir kuartal.
Tahun ini, tensi semakin meningkat karena pada 17 September mendatang bank sentral AS, The Fed, akan menentukan arah suku bunga. Konsensus pasar memperkirakan pemangkasan suku bunga sebesar 25 basis poin.
Menurut Analyst Reku, Fahmi Almuttaqin, ekspektasi itu sudah diantisipasi pasar sejak beberapa minggu terakhir.
“Artinya, risiko sell the news bisa jadi akan cukup besar, khususnya jika nada The Fed tetap hawkish dengan menekankan bahwa inflasi belum sepenuhnya terkendali,” ujarnya di Jakarta, melalui keterangan pers, Selasa (10/9/2025).
Baca juga: Bitcoin (BTC) Biasanya Lesu di September, Tahun Ini Ada Sinyal Berbeda
Fahmi menambahkan, dampak bagi saham AS bisa ambigu.
“Jika nada dovish ikut mengiringi, sektor teknologi dan properti berpeluang memimpin reli. Namun jika pesan yang muncul justru hati-hati, investor mungkin akan mengambil aksi profit taking yang dapat membuat indeks bergerak cenderung datar atau bahkan terkoreksi jangka pendek,” jelasnya.
Baca juga: Wall Street Cetak Rekor Tertinggi, Investor Abaikan Kondisi Ekonomi AS
Pasar kripto juga tak luput dari ujian kombinasi September Effect dan keputusan The Fed. Menurut Fahmi, pergerakan harga belakangan masih stagnan dengan beberapa koreksi minor.
Saat ini, kapitalisasi pasar kripto global berada di kisaran 3,96 triliun dollar AS atau sekitar Rp 65.340 triliun, sedikit di bawah posisi 11 Agustus yang sebesar 4,06 triliun dollar AS atau Rp 66.990 triliun.
“Indeks Fear & Greed berada di level 49, menunjukkan pasar masih netral, belum optimistis tapi juga tidak panik. Ini berbeda dengan 11 Agustus lalu ketika indeks mencapai 70 yang menandakan kondisi greed atau optimis,” kata Fahmi.
Faktor lain yang membedakan tahun ini adalah masuknya aliran dana besar dari investor institusi lewat ETF spot. Menurut Fahmi, arus masuk itu memberi pondasi kuat bagi harga Bitcoin dan Ethereum.
“Penurunan harga relatif minor dan membuat Bitcoin mampu mempertahankan level di atas 100.000 dollar AS atau sekitar Rp 1,65 miliar,” imbuhnya.
Baca juga: Kenapa Gen Z Lebih Pilih Investasi Kripto dan Apa Risikonya?