
DALAM dunia perekonomian, uang sering kali dianalogikan sebagai darah atau oksigen yang mengalir ke seluruh tubuh. Ketika aliran itu macet, tubuh akan melemah.
Begitu pula dengan ekonomi, ketika likuiditas seret, aktivitas bisnis melambat, investasi tertunda, konsumsi menurun, bahkan bisa menimbulkan krisis.
Di tengah perlambatan ekonomi global, tekanan fiskal, serta kebutuhan pembiayaan dalam negeri, pemerintah Indonesia mengambil langkah strategis dengan menggelontorkan dana sekitar Rp 200 triliun ke perbankan.
Tujuannya sederhana, yaitu menjaga stabilitas sistem keuangan, meningkatkan likuiditas bank, sekaligus mendorong penyaluran kredit ke sektor riil.
Namun, kebijakan sebesar ini tentu tidak sekadar angka. Dampaknya bisa melebar, dari sektor perbankan, dunia usaha, konsumsi masyarakat, hingga pembangunan nasional.
Pertanyaannya, apakah guyuran dana sebesar Rp 200 triliun ini benar-benar efektif untuk menggerakkan roda ekonomi? Atau justru akan menimbulkan risiko baru, seperti moral hazard atau inflasi?
Baca juga: Mengalirkan Likuiditas, Menjaga Stabilitas: Jalan Baru Kebijakan Fiskal-Moneter Indonesia
Banyak orang awam bertanya, mengapa dana sebesar itu ditaruh di bank, bukan langsung dibagikan ke rakyat atau untuk pembangunan infrastruktur? Jawabannya terletak pada fungsi perbankan sebagai lembaga intermediasi.
Bank adalah perantara antara pemilik dana (deposan) dengan pihak yang membutuhkan dana (debitur). Dalam konteks ekonomi modern, hampir semua transaksi ekonomi melewati bank.
Jika bank mengalami kekurangan likuiditas, maka terdapat akibat yang dapat terjadi mulai dari kredit macet akan meningkat, usaha kecil dan menengah (UMKM) kesulitan modal, perusahaan besar menunda investasi, hingga masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap sistem keuangan.
Dengan kata lain, bank adalah urat nadi ekonomi. Menjaga kesehatan bank berarti menjaga kelangsungan ekonomi secara keseluruhan.
Dana Rp 200 triliun ini tidak diberikan begitu saja, melainkan dalam bentuk penempatan dana pemerintah di bank-bank Himbara (Himpunan Bank Milik Negara) untuk memperkuat likuiditas.
Pemerintah berharap, setiap rupiah yang ditempatkan di bank bisa “berlipat ganda” melalui efek pengganda kredit (credit multiplier). Misalnya, dana Rp 200 triliun bisa mendorong kredit hingga Rp 600 triliun– Rp 800 triliun ke masyarakat dan dunia usaha.
Ada sejumlah dampak jangka pendek dari kebijakan yang ditempuh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa.
Pertama, likuiditas bank menguat. Dengan tambahan dana Rp 200 triliun, bank memiliki cadangan likuiditas yang lebih longgar.
Hal ini membuat mereka lebih percaya diri untuk menyalurkan kredit, menurunkan bunga pinjaman, dan mempercepat proses restrukturisasi kredit macet.