KOMPAS.com - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menilai kebijakan pembatasan impor bahan bakar minyak (BBM) non-subsidi berpotensi mengganggu pasokan dan mengurangi pilihan konsumen.
Selain memperkuat dominasi pasar Pertamina, kebijakan tersebut juga dinilai membatasi ruang gerak badan usaha (BU) swasta yang bergantung pada impor.
Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerbitkan Surat Edaran Nomor T-19/MG.05/WM.M/2025 tertanggal 17 Juli 2025, yang membatasi kenaikan impor bensin non-subsidi maksimal 10 persen dari volume penjualan 2024.
Kebijakan tersebut digadang sebagai upaya menekan defisit transaksi migas dan memperkuat ketahanan energi nasional.
Baca juga: Kementerian ESDM Siapkan Lelang 7 Blok Migas pada September 2025
Namun, hasil analisis KPPU menunjukkan aturan tersebut menambah volume impor BU swasta hanya sekitar 7.000–44.000 kiloliter, sementara PT Pertamina Patra Niaga justru mendapat tambahan hingga 613.000 kiloliter.
Saat ini, pangsa pasar Pertamina Patra Niaga di segmen BBM non-subsidi sudah mencapai 92,5 persen, sedangkan BU swasta hanya 1–3 persen.
KPPU menilai kondisi tersebut membuat pasar semakin terkonsentrasi dan berpotensi mengurangi keseimbangan persaingan. Padahal, tren konsumsi BBM non-subsidi terus meningkat dan sebaiknya tetap terjaga.
Oleh karena itu, KPPU mendorong agar kebijakan publik tetap menjamin kelancaran distribusi, ketersediaan pasokan, dan persaingan usaha yang sehat, sehingga tren positif konsumsi BBM non-subsidi dapat dirasakan secara berkelanjutan.
Baca juga: KPPU Usut Dugaan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam Penjualan AC AUX
Dari perspektif persaingan usaha, KPPU menganalisis kebijakan pembatasan impor menggunakan Daftar Periksa Kebijakan Persaingan Usaha (DPKPU), instrumen yang diatur dalam Peraturan KPPU Nomor 4 Tahun 2023. Alat ini digunakan untuk menguji kesesuaian kebijakan pemerintah dengan prinsip persaingan usaha.
Peraturan KPPU Nomor 4 Tahun 2023 berisi tentang Pemberian Saran dan Pertimbangan terhadap Kebijakan Pemerintah yang Berkaitan dengan Praktik Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Berdasarkan analisis DPKPU, KPPU mengidentifikasi bahwa kebijakan pembatasan kenaikan impor maksimal 10 persen bersinggungan dengan DPKPU angka 5 huruf b, terkait indikator pembatasan penjualan atau pasokan barang/jasa.
Baca juga: KPPU Dalami Kelangkaan BBM Non-Subsidi, Jaga Agar Tidak Ada Praktik Monopoli
Selain mengkaji kebijakan pembatasan kenaikan volume impor, KPPU juga telah menganalisis kebijakan baru Kementerian ESDM terkait impor BBM melalui satu pintu yang mengharuskan BU swasta membeli produk BBM dari Pertamina.
KPPU menilai kebijakan tersebut bersinggungan dengan DPKPU angka 6 huruf c, terkait indikator penunjukan pemasok tertentu.
Kondisi itu berpotensi menimbulkan tantangan dalam menjaga iklim persaingan usaha yang sehat, antara lain risiko pembatasan pasar, perbedaan harga dan pasokan atau diskriminasi, serta dominasi pelaku tertentu.
Di sisi lain, kebijakan ini juga akan berdampak pada terbatasnya pemanfaatan infrastruktur yang dimiliki BU swasta serta dapat menimbulkan inefisiensi, yang berpotensi memunculkan sinyal negatif bagi investasi baru di sektor hilir migas.
Baca juga: Sumur Migas Tua Boleh Beroperasi, ESDM Beri 4 Tahun Perbaiki Tata Kelola dan Produksi