JAKARTA, KOMPAS.com – Penempatan dana pemerintah sebesar Rp 200 triliun di bank-bank milik negara (Himbara) dinilai sebagai terobosan untuk memperkuat pertumbuhan kredit perbankan. Namun, langkah ini dinilai belum cukup tanpa didukung peningkatan permintaan dari dunia usaha dan rumah tangga.
“Tujuan penempatan dana Rp 200 triliun di bank-bank Himbara adalah untuk mendorong pertumbuhan kredit yang bisa meningkatkan investasi dan pada akhirnya mempercepat pertumbuhan ekonomi. Upaya ini harus diapresiasi dan didukung. Agar berhasil, perlu ada kebijakan yang searah dari otoritas moneter serta deregulasi di sektor riil,” ujar Piter Abdullah, Program and Policy Director Prasasti Center for Policy Studies (Prasasti), dalam keterangan di Jakarta, dikutip Kamis (25/9/2025).
Dana tersebut setara 4,5 persen dari total simpanan perbankan nasional. Rinciannya, BRI, Mandiri, dan BNI masing-masing menerima Rp 55 triliun, BTN Rp 25 triliun, dan BRIS Rp 10 triliun.
Baca juga: OJK Prediksi Penurunan Suku Bunga Kredit Perbankan Masih Berlanjut
Biaya penempatan ditetapkan sebesar 4 persen, lebih rendah dari 5–7 persen pada deposito khusus sebelumnya. Hal ini diharapkan menekan biaya pendanaan dan memperkuat fungsi intermediasi perbankan.
Meski demikian, hingga Agustus 2025, pertumbuhan kredit perbankan baru mencapai 7,56 persen secara tahunan (year on year/YoY), dengan rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) tetap di bawah 3 persen.
Rasio likuiditas perbankan juga terjaga, tercermin dari rasio Alat Likuid terhadap Non Core Deposit (AL/NCD) sebesar 120,25 persen dan terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) sebesar 27,25 persen, jauh di atas ambang batas 10 persen.
Baca juga: BI Rate 5 Persen: Menunggu Respons Cepat Penurunan Bunga Kredit Perbankan Nasional
Namun, data menunjukkan lemahnya permintaan kredit. Nilai kredit yang belum ditarik (undisbursed loan) mencapai Rp 2.372 triliun atau 22,71 persen dari plafon kredit.
“Angka sebesar itu menunjukkan masih banyak dana kredit yang sudah disediakan bank tetapi tidak digunakan oleh dunia usaha. Kondisi ini mengindikasikan lemahnya permintaan kredit. Lemahnya permintaan ini dipicu oleh aktivitas ekonomi pasca-COVID yang belum sepenuhnya pulih, ketidakpastian global akibat perang Ukraina, konflik Israel–Palestina, dan perang dagang yang dipicu kebijakan Amerika Serikat,” kata Piter.
“Oleh karena itu, fokus kebijakan harus diarahkan pada pemulihan kepercayaan usaha dan peningkatan daya beli rumah tangga,” tambahnya.
Baca juga: Kredit Perbankan Tumbuh 7,77 Persen, Tembus Rp 8.059,79 Triliun Per Juni 2025
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya