
BEBERAPA hari lalu, publik dikejutkan dengan adanya laporan “orang hilang” terkait absennya Bupati Buton, Alvin Akawijaya Putra, di kantornya dalam kurun waktu hampir satu bulan.
Namun, aksi warga tersebut bisa juga dimaknai sebagai satire, karena masyarakat merindukan kehadiran pemimpinnya day to day.
Setelah diselidiki, Alvin ternyata berada di Jakarta, salah satunya untuk melobi pemerintah pusat guna mengawal Transfer ke Daerah (TKD), yaitu dana dari pusat untuk pembangunan kabupaten/kota dan provinsi.
Sebelumnya, krisis anggaran pembangunan ini juga sudah “meledak” di Kabupaten Pati, awal Agustus lalu, setelah kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250 persen.
Protes tersebut bahkan menjadi yang terbesar untuk skala kabupaten/Kota dalam beberapa tahun terakhir, di mana dampaknya masih berlangsung hingga kini.
Baca juga: Rupiah Melemah, Emas Menguat: Siapa Untung Siapa Rugi?
Bahkan, Bupati Sudewo pada September 2025, masih menghadapi penyelidikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terkait kasus dugaan suap pembangunan jalur kereta di Direktur Jenderal Perkeretaapian (DJKA) Kementerian Perhubungan (Kemenhub).
Benang merah dari dua potret peristiwa di atas adalah bahwa Pemda/Pemkot/Pemprov saat ini mengalami defisit pendapatan.
Bupati Sudewo menaikkan PBB karena kempesnya kas daerah. Begitu pun dengan kasus Buton, di mana bupati dan pejabat terasnya sering ke Jakarta untuk “melobi” pencairan TKD.
Siapa yang salah dalam situasi ini? Tergantung dari mana kita melihat.
Bisa jadi para kepala daerah berada pada posisi sulit, karena harus mengamankan kas tahun berjalan, khususnya untuk memenuhi kebutuhan rutin seperti gaji ASN.
Pasalnya, bila cadangan gaji terganggu, berpotensi menimbulkan gejolak lanjutan, yang akan berpengaruh pada stabilitas politik di masing-masing wilayah.
Penurunan TKD pada 2026 diperkirakan mencapai 24,7 persen dari tahun sebelumnya. Harian Kompas menulis, para kepala daerah khawatir koreksi TKD mengakibatkan rencana pembangunan daerah terganggu.
Mereka juga waswas gaji pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) yang baru saja diangkat tidak akan terbayar.
Meskipun saat penetapan APBN 2026, September 2025, ada angin segar dengan tambahan Rp 43 Triliun dari rencana awal Rp 650 Triliun, tapi angka itu masih lebih rendah dari tahun-tahun sebelumnya.
Bila ditarik lima tahun ke belakang, TKD 2026 merupakan yang terendah dalam lima tahun terakhir.
Indikatornya, pada 2021, realisasi transfer daerah dan dana desa mencapai Rp 785,7 Triliun. Alokasi anggaran serupa terus naik hingga tahun 2024.
Dari Rp 816,2 Triliun pada 2022, Rp 881,4 Triliun pada 2023, hingga Rp 863,5 Triliun pada 2024.
Baca juga: Tambahan Dana Transfer ke Daerah dan Gejolak Pati
Dalam jangka menengah, ketergantungan pembangunan dari kucuran Pusat, akan berdampak pada: