Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Abdul Nasir
Dosen

Dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Jember

Tokenomics: Uang Digital, Janji atau Ilusi?

Kompas.com - 03/10/2025, 17:38 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Editor Wisnubrata

BAYANGKAN sebuah pasar tradisional. Setiap pedagang membawa uang kertas yang diterbitkan oleh sebuah “otoritas” baru, katakanlah ketua pasar. Pedagang percaya bahwa uang ini punya nilai karena ada janji: uang tidak akan dicetak berlebihan dan biaya transaksi tidak akan dinaikkan semena-mena. Tapi, bagaimana jika ketua pasar tiba-tiba memutuskan untuk mencetak lebih banyak uang untuk keuntungan pribadi? Nilai uang itu tentu jatuh, dan kepercayaan lenyap.

Fenomena inilah yang kini nyata terjadi di dunia kripto. Studi terbaru dari Jermann & Xiang (2025) di Journal of Monetary Economic menunjukkan bahwa keberhasilan atau kegagalan sebuah token digital sangat ditentukan oleh komitmen penerbitnya terhadap kebijakan moneter dan biaya transaksi.

Temuan ini memberi pesan kuat bahwa teknologi blockchain boleh menjanjikan transparansi, tetapi tanpa komitmen yang kredibel, nilai ekonomi sebuah token hanya ilusi.

Baca juga: 10 Mata Uang Kripto Termahal Oktober 2025, Bitcoin dan Etherium Tak Tergerser

Komitmen, Kunci Nilai Token

Studi Jermann & Xiang (2025) meneliti hampir 2000 token dari berbagai proyek blockchain. Polanya menarik, laju pertumbuhan pasokan uang kripto cenderung menurun seiring waktu, hingga stabil di kisaran 3 persen per tahun. Token yang dimiliki lebih luas oleh investor ritel justru menunjukkan laju pertumbuhan pasokan yang lebih rendah dan lebih stabil.

Artinya, semakin banyak orang kecil terlibat, semakin kuat pula tekanan untuk menjaga janji agar tidak mencetak token berlebihan.

Secara teori, ini mengingatkan kita pada perdebatan klasik dalam kebijakan moneter yaitu aturan vs. diskresi. Ekonom seperti Kydland dan Prescott (1977) telah lama menekankan pentingnya aturan tetap (rules) untuk mencegah godaan jangka pendek pemerintah mencetak uang demi keuntungan sesaat.

Dunia kripto kini menghidupkan kembali perdebatan itu dalam bentuk nyata. Bitcoin, misalnya, dianggap memiliki “komitmen sempurna” karena pasokannya dibatasi 21 juta unit. Sebaliknya, proyek-proyek lain seperti Ethereum menunjukkan fleksibilitas yang lebih besar, dengan segala risikonya.

Baca juga: Serba-serbi Cryptocurrency sebagai Mata Uang Digital

Belajar dari Kasus Nyata

Kita pernah melihat betapa rapuhnya nilai sebuah token saat komitmen goyah. Ingat kasus Terra-Luna pada 2022? Janji stabilitasnya runtuh ketika mekanisme penerbitan dan pembakaran token tidak mampu menahan guncangan pasar. Nilainya anjlok hampir ke nol hanya dalam hitungan hari.

Bandingkan dengan Bitcoin, yang meski harganya fluktuatif, tetap dipercaya karena aturan pasokan yang jelas dan nyaris mustahil diubah. Jermann dan Xiang menunjukkan secara matematis bahwa penerbit token yang berkomitmen untuk menjaga inflasi rendah justru bisa meraih keuntungan lebih besar di masa kini.

Ini menjadi paradoks menarik, dengan menahan diri dari mencetak token berlebihan, penerbit bisa mengumpulkan seigniorage (untung dari pencetakan uang) dan biaya transaksi lebih tinggi karena nilai token terjaga. Kepercayaan publik, dengan kata lain, adalah modal ekonomi yang tak ternilai.

Baca juga: Tantangan OJK: Dari Spin-off Syariah, Literasi Rendah, hingga Kripto

Cermin bagi Dunia Nyata

Meski berbicara tentang kripto, temuan ini punya resonansi luas untuk dunia nyata, termasuk bagi Indonesia. Bank sentral kita, Bank Indonesia (BI), kerap menghadapi dilema serupa, yaitu menjaga inflasi tetap rendah atau memberi stimulus lewat pencetakan uang.

Sejarah dunia menunjukkan, negara yang gagal menjaga komitmen moneter sering terjebak dalam inflasi tinggi. Kasus Zimbabwe atau Venezuela adalah contoh ekstrem. Sebaliknya, kredibilitas BI dalam menjaga inflasi di bawah 4 persen dalam satu dekade terakhir membuat rupiah tetap relatif stabil, meski dunia dilanda pandemi dan krisis energi.

Sama seperti token kripto, nilai rupiah bertahan karena publik percaya BI tidak akan sembrono mencetak uang. Inilah yang disebut ekonom sebagai anchoring of expectations, jangkar ekspektasi masyarakat yang menjaga stabilitas.

Baca juga: Penerimaan Pajak Kripto Capai Rp 1,61 Triliun

Dunia Digital, Risiko Nyata

Namun, dunia kripto punya lapisan tambahan yaitu biaya transaksi (fees). Ethereum pernah menghadapi “gas fee” selangit pada masa puncak 2021, sehingga banyak pengguna kecil tersingkir.

Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa biaya ini ibarat pajak tak kasat mata. Jika terlalu tinggi, pengguna enggan bertransaksi; jika terlalu rendah, proyek kehilangan sumber pembiayaan. Lagi-lagi, kuncinya ada pada keseimbangan dan komitmen.

Halaman:


Terkini Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau