JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Partai Buruh, Said Iqbal berniat melaporkan anggota DPR Fraksi Partai Nasdem Ahmad Sahroni ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR, pada Rabu (3/9/2025).
Selain Sahroni, ia juga akan melaporkan anggota DPR lain seperti Eko Patrio, Uya Kuya, dan Nafa Urbach yang pernyataannya menimbulkan disorot masyarakat.
Menurutnya, anggota-anggota DPR itu seharusnya diberhentikan, bukan dinonaktifkan yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).
Baca juga: Polri Respon soal Penjarahan Rumah Ahmad Sahroni hingga Sri Mulyani
"Pengertian non-aktif itu kan enggak ada di undang-undang MKD. Partai Buruh sama KSPI akan melaporkan para anggota DPR tersebut ke MKD hari Rabu," ujar Said di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (1/9/2025).
"Ya berhentiin saja lah, kan menimbulkan huru-hara ya," sambungnya menegaskan.
Sementara itu, dosen hukum pemilu Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini mengatakan bahwa Ahmad Sahroni, Adies Kadir, Eko Patrio, Uya Kuya, hingga Nafa Urbach secara hukum masih berstatus sebagai anggota DPR.
Hal itu terjadi karena keputusan penonaktifan hanyalah proses hukum yang terjadi di internal partai politik, bukan DPR.
"Ketika partai politik menyatakan menonaktifkan kadernya yang menjadi anggota DPR, hal tersebut sebenarnya masih berupa keputusan internal politik partai atau fraksi, belum mekanisme hukum yang otomatis mengubah status mereka sebagai anggota DPR," ujar Titi saat dihubungi, Senin (1/9/2025).
Baca juga: Formappi Sebut Status Nonaktif Hanya untuk Sembunyikan Sahroni-Uya Kuya
"Dari sisi hukum, mereka tetap berstatus anggota DPR sampai ada PAW," sambungnya.
Ia menjelaskan, Sahroni, Adies Kadir, Eko Patrio, Uya Kuya, dan Nafa Urbach tidak lagi menjadi anggota DPR jika partai politiknya melakukan pergantian antar waktu (PAW).
PAW dapat terjadi jika DPP partai politik sudah melakukan pemberhentian dan menyampaikan permintaan tersebut kepada pimpinan DPR.
Sedangkan yang terjadi kepada Sahroni hingga Adies masih merupakan penonaktifan di internal partai.
"Penggantian antarwaktu bisa dilakukan setelah ada pemberhentian antarwaktu yang disampaikan pimpinan partai politik kepada pimpinan DPR," ujar Titi.
Baca juga: Nasdem: Akun X Sahroni Berdikari Palsu, Warga Diimbau Tak Terprovokasi
Ada tiga kondisi yang menyebabkan anggota DPR berhenti antarwaktu, yakni meninggal dunia, mengundurkan diri, atau diberhentikan.
Hal tersebut diatur dalam Pasal 239 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).