Selama lima tahun terakhir, Maya punya cara sendiri untuk terus menyalakan semangat membaca dan memancarkannya kepada masyarakat.
Ia rajin membuat ulasan buku dan membagikannya lewat akun Instagram pribadinya.
Minimal tiga kali dalam sebulan, Maya membagikan resensi buku yang ia baca, baik itu buku koleksi perpustakaan, dari Perpusnas, Perpusda, atau buku yang ia beli sendiri.
“Sebulan bisa baca sampai tujuh buku,” katanya ringan.
Menurut Maya, ini bukan hanya sebagai cara untuk menyemangati diri, tapi juga sebagai bentuk edukasi publik.
Baca juga: Pustakawan Perpusda Sidoarjo Dorong Pengelolaan Perpustakaan di Sekolah dan Desa
Buku-buku yang ia ulas beragam, mulai dari sastra, psikologi, hingga kajian sosial, semua dipaparkan dengan bahasa yang hangat dan membumi.
Akun Instagramnya menjadi ruang kecil untuk membangun budaya literasi.
Dari sana, ia berharap masyarakat sadar bahwa membaca tak harus berat dan membosankan.
“Saya ingin pustakawan tidak hanya duduk menunggu pengunjung, tapi juga aktif menyebarkan minat baca,” kata perempuan 46 tahun itu.
Baca juga: Cerita Heroik Pustakawan Pamekasan di Tengah Wabah Covid-19: Ibarat Dokter Layani Pasien
Baginya, perpustakaan Unej adalah tempat yang tak pernah sepi, meski zaman telah bergeser ke era digital.
“Mahasiswa baru biasanya antusias, apalagi saat mengerjakan tugas akhir,” ujarnya.
Masyarakat umum pun masih datang, mencari bacaan atau sekadar bertanya informasi.
Unej kini memiliki koleksi sekitar 200.000 buku, termasuk e-book yang terus diperbarui tiap tahun.
Namun bukan berarti tak ada tantangan.
Salah satu yang paling berat, menurut Maya, adalah menyesuaikan antara kebutuhan koleksi dengan ketersediaannya di pasar.
“Kami harus cocokkan dengan kurikulum, tapi sering kali buku yang dibutuhkan tidak tersedia,” ujarnya.
Waktu yang sempit dalam perencanaan juga jadi kendala tersendiri.
Di tengah berbagai keterbatasan, Maya tetap berharap agar dukungan untuk perpustakaan bisa lebih konkret.
Mulai dari penyediaan buku pedoman pengklasifikasian, kelengkapan sarana kerja seperti ATK yang mulai dipangkas sejak efisiensi, hingga pemenuhan SDM yang kini mulai dipangkas.
“Kami butuh perhatian dari rektorat. Sekarang koleksi banyak yang e-book, tapi tetap perlu pengelolaan yang maksimal,” ujarnya.
Soal kesejahteraan, Maya bersyukur sebagai PNS golongan III/D sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan, termasuk jatah jajan buku.
Namun, ia mengakui masih ada kesenjangan yang besar antara pustakawan di perguruan tinggi dan sekolah.
Ia berharap pemerintah bisa lebih memberi ruang bagi pustakawan untuk berkembang, serta membangun jejaring kolaborasi antar-perpustakaan.
Bagi Maya, pustakawan hari ini harus melek digital, aktif berinovasi, dan tidak boleh berhenti belajar.
“Kalau kita ingin masyarakat gemar baca, maka pustakawan juga harus gemar membaca,” pesannya.
Ia aktif di IPI (Ikatan Pustakawan Indonesia) dan FPPTI (Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi Indonesia). Dua organisasi yang menurutnya penting sebagai ruang bertukar gagasan dan memperkuat profesi.
Maya percaya, masyarakat seharusnya memandang pustakawan bukan hanya sebagai penjaga buku, tapi juga sebagai penjaga pengetahuan.
“Pustakawan sekarang ikut perkembangan zaman. Kami paham literasi digital, membantu identifikasi kebutuhan informasi, dan berperan dalam mencerdaskan masyarakat,” ujarnya.
Literasi, baginya, adalah kunci menuju kesejahteraan.
Di masa depan, ia berharap perpustakaan makin maju, pustakawan makin dihargai, dan masyarakat semakin dekat dengan buku.
Ia ingin melihat lebih banyak pustakawan yang bisa memberikan pelayanan prima, menjawab kebutuhan informasi, dan terus berkembang tanpa ragu.
Karena dalam diamnya perpustakaan, ada orang-orang seperti Maya yang terus menyalakan cahaya lewat kata-kata, layar kecil, dan semangat yang tak pernah padam.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang