Salin Artikel

Maya, Pustakawan Unej yang Rajin Buat Resensi untuk Tingkatkan Literasi Publik

JEMBER, KOMPAS.com - Di balik rak-rak buku yang tenang, Maya Pradhipta Hapsari menjalani hari-harinya dengan semangat yang tak pernah surut.

Perempuan kelahiran Bojonegoro ini telah lebih dari dua dekade mengabdikan diri sebagai pustakawan di Universitas Jember (Unej) di bagian pembinaan koleksi perpustakaan.

Maya tak pernah membayangkan sebelumnya bahwa dunia perpustakaan akan menjadi jalan hidupnya.

Awalnya, ia merasa salah jurusan saat diterima di D3 Ilmu Perpustakaan Universitas Airlangga, Surabaya.

Namun, setelah setahun berjalan, ia menemukan kesenangan di dalamnya.

“Yang dipelajari asyik, saya jadi merasa cocok,” ujar Maya kepada Kompas.com, Sabtu (13/9/2025).

Akrab dengan buku sejak kecil

Sejak kecil, Maya memang sudah akrab dengan buku.

Membaca seperti membuka pintu menuju dunia lain. Keluarganya kala itu mendukung kebiasaannya sepenuh hati.

Kecintaannya pada literasi membawanya lanjut kuliah S1 di Program Studi Perpustakaan dan Sains Informasi Universitas Padjadjaran.

Selepas kuliah, ia bekerja di perpustakaan kampus swasta di Surabaya, sebelum akhirnya diterima sebagai PNS di Unej sejak 2005.

Selama ini, Maya bertugas merancang pengadaan buku, mulai dari menganalisis kebutuhan hingga menyusun daftar koleksi.

Pengklasifikasian dan penentuan subjek buku adalah bagian dari pekerjaannya, tentu hanya bisa dilakukan oleh pustakawan profesional.

Ia juga pernah mengikuti diklat selama tiga bulan di Perpustakaan Nasional untuk memperdalam ilmu kepustakawanannya.

Meski terkesan sunyi dan teratur, kehidupan seorang pustakawan ternyata tak monoton.

Setiap hari, Maya merancang rencana koleksi, meneliti kebutuhan mahasiswa, menyusun data pengadaan, dan memastikan bahwa perpustakaan tetap menjadi ruang yang hidup.

Yang membuat Maya bertahan selama ini bukan hanya soal pengabdian, tetapi juga rasa syukur dan kesejahteraan yang ia temukan di profesi ini.

“Di tempat lain profesi pustakawan sering dipandang sebelah mata, tapi di sini saya merasa sejahtera,” ungkapnya.

Ia rajin membuat ulasan buku dan membagikannya lewat akun Instagram pribadinya.

Minimal tiga kali dalam sebulan, Maya membagikan resensi buku yang ia baca, baik itu buku koleksi perpustakaan, dari Perpusnas, Perpusda, atau buku yang ia beli sendiri.

“Sebulan bisa baca sampai tujuh buku,” katanya ringan.

Menurut Maya, ini bukan hanya sebagai cara untuk menyemangati diri, tapi juga sebagai bentuk edukasi publik.

Buku-buku yang ia ulas beragam, mulai dari sastra, psikologi, hingga kajian sosial, semua dipaparkan dengan bahasa yang hangat dan membumi.

Akun Instagramnya menjadi ruang kecil untuk membangun budaya literasi.

Dari sana, ia berharap masyarakat sadar bahwa membaca tak harus berat dan membosankan.

“Saya ingin pustakawan tidak hanya duduk menunggu pengunjung, tapi juga aktif menyebarkan minat baca,” kata perempuan 46 tahun itu.

Baginya, perpustakaan Unej adalah tempat yang tak pernah sepi, meski zaman telah bergeser ke era digital.

“Mahasiswa baru biasanya antusias, apalagi saat mengerjakan tugas akhir,” ujarnya.

Masyarakat umum pun masih datang, mencari bacaan atau sekadar bertanya informasi.

Unej kini memiliki koleksi sekitar 200.000 buku, termasuk e-book yang terus diperbarui tiap tahun.

Namun bukan berarti tak ada tantangan.

Salah satu yang paling berat, menurut Maya, adalah menyesuaikan antara kebutuhan koleksi dengan ketersediaannya di pasar.

“Kami harus cocokkan dengan kurikulum, tapi sering kali buku yang dibutuhkan tidak tersedia,” ujarnya.

Waktu yang sempit dalam perencanaan juga jadi kendala tersendiri.

Di tengah berbagai keterbatasan, Maya tetap berharap agar dukungan untuk perpustakaan bisa lebih konkret.

Mulai dari penyediaan buku pedoman pengklasifikasian, kelengkapan sarana kerja seperti ATK yang mulai dipangkas sejak efisiensi, hingga pemenuhan SDM yang kini mulai dipangkas.

“Kami butuh perhatian dari rektorat. Sekarang koleksi banyak yang e-book, tapi tetap perlu pengelolaan yang maksimal,” ujarnya.

Soal kesejahteraan, Maya bersyukur sebagai PNS golongan III/D sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan, termasuk jatah jajan buku.

Namun, ia mengakui masih ada kesenjangan yang besar antara pustakawan di perguruan tinggi dan sekolah.

Ia berharap pemerintah bisa lebih memberi ruang bagi pustakawan untuk berkembang, serta membangun jejaring kolaborasi antar-perpustakaan.

Bagi Maya, pustakawan hari ini harus melek digital, aktif berinovasi, dan tidak boleh berhenti belajar.

“Kalau kita ingin masyarakat gemar baca, maka pustakawan juga harus gemar membaca,” pesannya.

Ia aktif di IPI (Ikatan Pustakawan Indonesia) dan FPPTI (Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi Indonesia). Dua organisasi yang menurutnya penting sebagai ruang bertukar gagasan dan memperkuat profesi.

Maya percaya, masyarakat seharusnya memandang pustakawan bukan hanya sebagai penjaga buku, tapi juga sebagai penjaga pengetahuan.

“Pustakawan sekarang ikut perkembangan zaman. Kami paham literasi digital, membantu identifikasi kebutuhan informasi, dan berperan dalam mencerdaskan masyarakat,” ujarnya.

Literasi, baginya, adalah kunci menuju kesejahteraan.

Di masa depan, ia berharap perpustakaan makin maju, pustakawan makin dihargai, dan masyarakat semakin dekat dengan buku.

Ia ingin melihat lebih banyak pustakawan yang bisa memberikan pelayanan prima, menjawab kebutuhan informasi, dan terus berkembang tanpa ragu.

Karena dalam diamnya perpustakaan, ada orang-orang seperti Maya yang terus menyalakan cahaya lewat kata-kata, layar kecil, dan semangat yang tak pernah padam.

https://surabaya.kompas.com/read/2025/09/15/154513878/maya-pustakawan-unej-yang-rajin-buat-resensi-untuk-tingkatkan-literasi

Bagikan artikel ini melalui
Oke