KOMPAS.com - Kawasan Tanjung Priok di Jakarta Utara menjadi saksi terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat pada 12 September 1984.
Komisi Nasional (Komnas) HAM menyebutkan, sebanyak 55 orang terluka dan 24 lainnya meninggal dunia dalam Tragedi Tanjung Priok 1984.
Korban adalah warga sipil yang terlibat bentrok dengan aparat Kodim 0502 Jakarta Utara.
Konflik bermula dari upaya pemerintah Orde Baru menjaga stabilitas nasional dengan memaksakan Pancasila sebagai asas tunggal negara.
Di sisi lain, pemerintah abai terhadap warga Tanjung Priok yang mayoritas pekerja kasar dan hidup di lingkungan tidak layak.
Baca juga: Mengenang 40 Tahun Peristiwa Tanjung Priok...
Pada pekan-pekan menjelang kerusuhan, masjid dan mushala di Tanjung Priok gencar mengadakan ceramah yang isinya mengkritik pemerintah dan penerapan asas tunggal Pancasila.
Warga juga menempelken pamflet-pamflet protes di dinding masjid dan mushala.
Dikutip dari Kompaspedia, insiden yang ditengarai sebagai pemicu kerusuhan bermula pada 7 September 1984.
Aparat Babinsa Kecamatan Koja, Sersan Satu (Sertu) Hermanu, mendatangi Mushala Assa'addah di Koja, Tanjung Priok, dan meminta semua pamflet protes dicopot.
Esok harinya, Sertu Hermanu kembali mendatangi Mushala Assa’addah dan masih menemukan pamflet-pamflet protes tertempel di dinding mushala. Dia pun marah dan mengambil pistolnya sambil menuding-nuding warga.
Banyak warga ketika itu juga menceritakan bahwa Hermanu masuk ke mushala hingga ke podium dan menggeledah untuk mencari pamflet-pamflet tersebut.
Baca juga: 20 Tahun Kematian Munir, Menagih Janji yang Tak Kunjung Ditepati...
Menurut keterangan warga, Hermanu masuk ke dalam mushala dengan tidak melepaskan sepatu larsnya.
Hal ini membuat warga setempat marah dan meminta Hermanu untuk meminta maaf kepada pengurus masjid dan seluruh umat Islam.
Kemudian, pada 10 September 1984, dua pengurus mushala, yaitu Syarifufin Rambe dan Ahmad Sahi mencari Hermanu untuk berdialog.