PERNYATAAN Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendikti Saintek) Brian Yuliarto dalam rapat kerja bersama Komisi X DPR, Rabu (27/8/2025), terasa janggal dan menimbulkan tanda tanya besar.
Ia dengan lantang membantah adanya perlakuan berbeda dalam penyaluran anggaran pemerintah antara perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS).
Klaim itu seolah ingin menutup mata dari fakta empirik yang telah lama menjadi rahasia umum: PTN selalu diistimewakan, sementara PTS dibiarkan bertahan hidup dengan segala keterbatasan.
Padahal, anggota Komisi X DPR Fraksi PDI-P, Sofyan Tan, mengungkapkan ketimpangan tersebut.
Untuk tahun 2026, pemerintah mengalokasikan biaya operasional sebesar Rp 5,8 triliun kepada 120 PTN. Angka itu masih ditambah lagi dengan anggaran revitalisasi sebesar Rp 533 miliar dan sarana prasarana Rp 2,3 triliun.
Pertanyaannya sederhana: di mana posisi PTS dalam struktur anggaran negara?
Baca juga: Tanda Jasa Kehormatan untuk Koruptor
Menteri Brian berkilah dengan mengutip amanat konstitusi, bahwa tidak boleh ada pembedaan antara PTN dan PTS. Namun, mengutip konstitusi tanpa menghadirkan realita adalah bentuk retorika kosong.
UUD 1945 memang menegaskan hak yang sama bagi seluruh warga negara dalam mengakses pendidikan. Namun, apakah semangat itu terwujud dalam kebijakan anggaran? Jawabannya: belum.
Realitas angka berapa rupiah yang mengalir ke PTN dan berapa yang tersisa bagi ribuan PTS adalah indikator paling konkret tentang apakah negara benar-benar memperlakukan kedua jenis perguruan tinggi itu secara setara.
Data administratif terakhir menunjukkan bahwa jumlah total mahasiswa yang tercatat di Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti) berada pada puluhan juta, ekosistem besar yang menuntut respons kebijakan proporsional.
Jika mayoritas mahasiswa dilayani oleh PTS, maka ketimpangan alokasi anggaran menjadi persoalan distribusi akses yang serius.
Negara tampak gagap dalam mengakui kenyataan bahwa lebih dari 60 persen mahasiswa Indonesia menempuh pendidikan di PTS.
Jika PTN mendapatkan subsidi besar-besaran dari APBN, sementara PTS dipaksa bertahan dengan uang kuliah mahasiswa, di mana letak keadilan yang dibanggakan pemerintah?
Ironisnya, di banyak daerah, PTS justru menjadi tulang punggung pendidikan tinggi. Mereka menampung mahasiswa dari keluarga menengah ke bawah, yang tidak berhasil masuk PTN karena daya tampung terbatas.
Sayangnya, meski berperan penting, PTS diperlakukan seperti anak tiri. Ditambah lagi dengan kenyataan di lapangan memang memperlihatkan PTS menghadapi tekanan struktural: penurunan pendaftar, sulitnya menutup biaya operasional, dan ancaman penutupan karena tidak mampu memenuhi persyaratan administratif atau akreditasi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya