DALAM tulisan sebelumnya, penulis menjabarkan langkah Malaysia melakukan terobosan pendidikan tinggi untuk mengatasi kesenjangan kompetensi antara dunia kampus dan dunia kerja.
Melalui kebijakan 2u2i Program, Kementerian Pendidikan Tinggi Malaysia mencoba menjembatani kesenjangan antara teori di kampus dan realitas di industri.
Nama program ini sederhana, tapi maknanya kuat: dua tahun di universitas (2u), dua tahun di industri (2i).
Gagasannya lahir dari keprihatinan yang tidak jauh berbeda dengan yang kita hadapi: tingginya tingkat pengangguran lulusan universitas, keluhan industri tentang minimnya keterampilan siap pakai, serta percepatan perubahan teknologi yang menggerus relevansi ilmu di bangku kuliah.
Baca artikel sebelumnya: Model 2u2i Malaysia: Solusi Krisis Kesiapan Kerja Lulusan Perguruan Tinggi (Bagian I)
Jika kita hendak mengadaptasi 2u2i di Indonesia, maka yang kita butuhkan bukan sekadar menyalin, tetapi meraciknya ulang agar sesuai dengan kultur pendidikan, karakter industri, dan keragaman wilayah kita.
Di sinilah muncul gagasan Model Hibrida 2u2i Indonesia, yaitu perpaduan antara kekuatan disiplin ala Jerman, fleksibilitas Kanada, dan keberanian inovasi Malaysia, tapi dibingkai dengan kearifan lokal dan kebijakan strategis.
Model ini dapat dirumuskan menjadi enam komponen utama:
Pertama, format waktu fleksibel. Tidak semua program studi membutuhkan pembagian waktu yang sama antara kampus dan industri.
Program teknik mungkin memerlukan siklus 3 bulan kampus + 3 bulan industri, sementara desain atau teknologi informasi bisa memanfaatkan pola 2 hari kuliah + 3 hari kerja setiap minggu.
Fleksibilitas ini memungkinkan penyesuaian dengan ritme industri masing-masing sektor.
Kedua, kurikulum ko-desain. Kurikulum harus dibangun bersama antara kampus dan mitra industri.
Setiap mata kuliah yang relevan diberi learning outcomes ganda: satu untuk kompetensi akademis, satu lagi untuk keterampilan terapan.
Misalnya, mata kuliah “Manajemen Proyek” di kampus selaras dengan pengalaman mengelola proyek nyata di perusahaan mitra.
Ketiga, kontrak Tripartit. Seperti di Jerman, mahasiswa menandatangani kontrak formal yang melibatkan tiga pihak: universitas, industri, dan mahasiswa itu sendiri.