INDONESIA saat ini menghadapi ironi pendidikan tinggi: setiap tahun universitas meluluskan ratusan ribu sarjana baru, tetapi tidak semuanya terserap pasar kerja.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024, tingkat pengangguran terbuka lulusan perguruan tinggi mencapai sekitar 6,32 persen, angka yang cukup tinggi jika dibandingkan jenjang pendidikan lain.
Laporan World Bank Report (2023) dalam "Indonesia's Future Workforce" juga mengonfirmasi tren pengangguran lulusan perguruan tinggi lebih tinggi dibandingkan SMA/SMK.
Fenomena ini tidak hanya berbicara tentang minimnya lapangan kerja, tapi juga mengindikasikan kesenjangan kompetensi antara dunia kampus dan dunia kerja.
Banyak perusahaan mengeluhkan bahwa lulusan yang datang melamar pekerjaan memang pintar secara akademis, tapi kerap “gagap” saat berhadapan dengan tuntutan pekerjaan nyata.
Survei McKinsey 2023 di Asia Tenggara menunjukkan bahwa 48 persen perusahaan di Indonesia kesulitan mendapatkan talenta dengan kombinasi keterampilan teknis (hard skills) dan keterampilan lunak (soft skills) yang memadai.
Persoalan ini menjadi semakin krusial di era perubahan teknologi cepat, di mana keterampilan usang bisa menjadi penghambat produktivitas dalam hitungan tahun.
Baca juga: Inflasi Gelar: Saat Ijazah Tak Lagi Bernilai
Sementara itu, perguruan tinggi di Indonesia sebagian besar masih terjebak dalam model pengajaran yang terlalu menekankan teori. Mata kuliah padat, beban studi tinggi, tapi porsi pengalaman kerja terstruktur minim.
Magang yang tersedia umumnya berlangsung singkat, hanya 3-6 bulan dan sering kali hanya menjadi formalitas untuk memenuhi persyaratan akademik.
Alhasil, mahasiswa tidak mendapatkan pengalaman mendalam dalam mengelola proyek, bekerja dalam tim lintas fungsi, atau beradaptasi dengan budaya kerja industri.
Di sisi lain, perubahan lanskap kerja global mengarah pada kebutuhan akan work-integrated learning (WIL), model pembelajaran yang menggabungkan teori dan praktik secara sistematis.
Banyak negara maju sudah lama menanamkan konsep ini. Di Jerman, ada Duales Studium yang mewajibkan mahasiswa bekerja di industri sambil kuliah.
Di Kanada, Co-op Education memberi kesempatan mahasiswa untuk berotasi antara ruang kuliah dan tempat kerja selama beberapa tahun. Hasilnya jelas: lulusan yang lahir dari model ini lebih siap kerja, lebih adaptif, dan lebih cepat berkontribusi.
Indonesia perlu mengakui bahwa persoalan “siap gelar, belum tentu siap kerja” tidak akan selesai dengan perbaikan kurikulum di kampus saja.
Dibutuhkan perubahan paradigma: kampus dan industri harus menjadi dua ruang belajar yang saling terhubung. Mahasiswa tidak boleh hanya menjadi “pengunjung” sementara di dunia kerja, tetapi harus menjadi bagian dari ekosistem industri selama masa studi.
Dalam konteks inilah, muncul urgensi untuk mengadopsi atau mengadaptasi model pembelajaran berbasis industri yang telah terbukti di negara lain.
Salah satu contoh terdekat yang relevan adalah program 2u2i Malaysia, model yang tidak hanya sederhana secara konsep, tetapi juga teruji dalam meningkatkan employability lulusan.
Pertanyaannya, apakah Indonesia siap mengambil langkah berani ini?
Malaysia melakukan terobosan pendidikan tinggi yang patut dicermati dan telah diterapkan sejak 2016. Melalui kebijakan 2u2i Program, Kementerian Pendidikan Tinggi Malaysia mencoba menjembatani kesenjangan antara teori di kampus dan realitas di industri.
Nama program ini sederhana, tapi maknanya kuat: dua tahun di universitas (2u), dua tahun di industri (2i).