KOMPAS.com – Ketegangan bersenjata atau konflik India-Pakistan yang berlangsung selama empat hari pada awal Mei 2025 berakhir dengan gencatan senjata.
Namun, di balik klaim kemenangan dari kedua negara, sorotan justru mengarah pada peran industri pertahanan China yang dinilai ikut diuntungkan dari konflik tersebut.
Konflik memanas setelah India melakukan serangan udara pada 7 Mei 2025 terhadap fasilitas yang disebutnya sebagai “infrastruktur teroris” di wilayah Pakistan.
Baca juga: Kebakaran Tewaskan 17 Orang di Gedung Toko Perhiasan India
Serangan ini disebut sebagai balasan atas serangan berdarah pada 22 April di Pahalgam, Kashmir yang dikuasai India, yang menewaskan 26 orang yang sebagian besar adalah turis.
Delhi menuding kelompok bersenjata yang berbasis di Pakistan berada di balik serangan tersebut, klaim yang dibantah keras oleh Islamabad.
India kemudian melancarkan Operasi Sindoor sebagai respons militer. Konflik berkembang menjadi duel udara yang melibatkan jet tempur, rudal, dan drone dari kedua negara.
India mengerahkan jet tempur buatan Perancis dan Rusia, sedangkan Pakistan mengandalkan J-10 dan JF-17, jet tempur hasil kerja sama produksi dengan China.
Kedua negara menyatakan, pesawat mereka tidak menyeberangi perbatasan langsung dan hanya meluncurkan rudal dari jarak jauh.
Islamabad mengeklaim berhasil menjatuhkan sedikitnya enam jet tempur India, termasuk Rafale buatan Perancis, tetapi belum ada konfirmasi dari pihak Delhi.
"Kerugian adalah bagian dari pertempuran. Kami telah mencapai tujuan yang kami pilih, dan semua pilot kami kembali ke rumah," kata Marsekal Udara AK Bharti dari Angkatan Udara India saat ditanya mengenai klaim Pakistan.
India juga menyatakan berhasil menewaskan setidaknya 100 anggota kelompok militan dalam serangan yang menargetkan markas Lashkar-e-Taiba dan Jaish-e-Mohammed di Pakistan.
Baca juga: Meski Gencatan Senjata, India Peringatkan Pakistan: Ini Belum Berakhir
Laporan Reuters yang mengutip pejabat Amerika Serikat menyebutkan bahwa jet J-10 buatan China kemungkinan digunakan Pakistan untuk menembakkan rudal udara-ke-udara dalam konflik ini.
Hal ini menimbulkan sorotan terhadap performa senjata China di medan tempur sesungguhnya dan jadi sesuatu yang sebelumnya jarang terjadi.
"Pertempuran udara tersebut merupakan iklan besar bagi industri senjata China. Hingga saat ini, China tidak memiliki kesempatan untuk menguji platformnya dalam situasi pertempuran," kata Zhou Bo, pensiunan kolonel senior Tentara Pembebasan Rakyat China, kepada BBC.
Saham perusahaan Avic Chengdu Aircraft, produsen J-10, dilaporkan melonjak hingga 40 persen setelah peran jet tempur tersebut dalam konflik ini mencuat.
Meski demikian, tidak semua pihak sepakat bahwa ini membuktikan keunggulan senjata China.
Profesor Walter Ladwig dari King's College London menilai masih terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa jet buatan China mampu mengungguli pesawat-pesawat milik Angkatan Udara India.
"Dalam doktrin militer standar, Anda akan menekan pertahanan udara musuh dan memperoleh keunggulan udara sebelum menyerang target darat. Sebaliknya, tampaknya misi IAF jelas bukan untuk memprovokasi pembalasan militer Pakistan," ujar Ladwig.
Baca juga: Garis Kontrol India-Pakistan: Perbatasan Paling Berbahaya yang Memicu Ketegangan Berkepanjangan
Di China, media sosial dipenuhi narasi kemenangan menyusul laporan tak terverifikasi bahwa J-10 menjatuhkan jet Rafale.
"Saat ini persepsi jauh lebih penting daripada kenyataan. Jika kita melihatnya seperti itu, pemenang utamanya adalah China," kata Carlotta Rinaudo, peneliti dari Tim Internasional untuk Studi Keamanan di Verona.
Bagi Beijing, Pakistan merupakan sekutu penting dalam strategi dan ekonomi kawasan. China telah menginvestasikan lebih dari 50 miliar dollar AS dalam proyek Koridor Ekonomi China-Pakistan.
"China membuat perbedaan penting dalam konflik India-Pakistan terkini," kata analis keamanan Pakistan, Imtiaz Gul.
"Hal itu mengejutkan para perencana India. Mereka mungkin tidak membayangkan kedalaman kerja sama dalam peperangan modern antara Pakistan dan China."
Analis memperkirakan, keberhasilan senjata China jika terbukti dapat memengaruhi peta perdagangan senjata global.
Saat ini, Amerika Serikat adalah eksportir senjata terbesar dunia, sedangkan China berada di posisi keempat, dengan pasar utama negara-negara berkembang seperti Pakistan dan Myanmar.
Meski demikian, reputasi senjata China sempat tercoreng. Jet tempur JF-17 buatan bersama dengan Pakistan sempat dihentikan operasinya oleh militer Myanmar pada 2022 karena masalah teknis. Nigeria pun melaporkan sejumlah malfungsi pada jet tempur F-7 buatan China.
Sementara itu, beberapa analis menilai India juga menunjukkan kemampuan militer signifikan dalam serangan pada dini hari 10 Mei lalu.
IAF disebut meluncurkan rudal ke 11 pangkalan udara strategis di seluruh Pakistan, termasuk pangkalan udara Nur Khan dekat Rawalpindi, yang tak jauh dari markas besar militer Pakistan.
"Salah satu target terjauh bahkan berada di Bholari, 140 kilometer dari Karachi," ujar Ladwig.
Baca juga: Bom Rakitan Meledak di Pakistan, 4 Warga Sipil Tewas
Ia menilai IAF kali ini menjalankan operasi sesuai standar, yaitu menyerang sistem pertahanan udara dan radar terlebih dahulu sebelum menghantam target darat.
"Jika ini adalah konflik berkepanjangan, berapa lama waktu yang dibutuhkan Pakistan untuk membangun dan menjalankan kembali fasilitas-fasilitas ini, saya tidak bisa mengatakannya," tambahnya.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini