TOKYO, KOMPAS.com – Partai nasionalis sayap kanan Sanseito mencatat lonjakan signifikan dalam pemilu majelis tinggi Jepang baru-baru ini.
Mengusung agenda anti-imigran dan anti-globalisasi, Sanseito kini menjadi kekuatan oposisi keempat terbesar di parlemen Jepang.
Didirikan pada 2020 saat pandemi COVID-19, Sanseito berhasil meraih 14 kursi di majelis tinggi dari sebelumnya hanya satu kursi sejak 2022.
Baca juga: Rakyat Mulai Resah, Pemerintah Jepang Bentuk Unit Khusus Tangani Warga Asing
Keberhasilan ini menempatkannya di belakang tiga partai oposisi utama, Partai Demokrat Konstitusional Jepang (CDP), Partai Demokrat untuk Rakyat (DPP), dan Nippon Ishin no Kai.
“Ini salah satu lonjakan paling mengejutkan dalam lanskap politik Jepang dalam beberapa tahun terakhir,” ujar seorang pengamat politik lokal kepada Japan Times.
Sanseito meraup suara lewat kampanye bertema “Japanese First”, semboyan nasionalis yang menyoroti kekhawatiran warga terhadap meningkatnya jumlah imigran, inflasi, serta kekecewaan terhadap pemerintahan Perdana Menteri Shigeru Ishiba.
Diketahui, jumlah penduduk asing di Jepang mencapai rekor 3,8 juta orang pada 2024, sementara jumlah wisatawan menembus 37 juta.
Meski angka itu kecil dibanding total populasi Jepang, lonjakan ini memicu ketidaknyamanan sebagian pemilih.
“Di bawah globalisme, perusahaan multinasional telah mengubah kebijakan Jepang demi kepentingan mereka,” ujar Sohei Kamiya, Ketua Sanseito, dalam kampanye baru-baru ini.
“Jika kita tidak melawan tekanan asing ini, Jepang akan menjadi koloni," imbuhnya.
Kamiya adalah mantan anggota Partai Demokrat Liberal (LDP) dan pernah mencalonkan diri dalam pemilu 2012 dengan dukungan mantan Perdana Menteri Shinzo Abe, namun kalah.
Ia kemudian mendirikan Sanseito dan terpilih ke majelis tinggi pada 2022.
Kampanye "Japanese First" membuat Partai Sanseito banyak dituduh xenofobia.
Meski anggapan tersebut dibantah oleh Kamiya, platform Sanseito justru mencantumkan sejumlah kebijakan kontroversial, antara lain membatasi jumlah penduduk asing hingga maksimal 5 persen dari populasi di setiap daerah, memperketat aturan naturalisasi dan izin tinggal, serta melarang warga naturalisasi menduduki jabatan publik.
Baca juga: Rentetan Kasus WNI di Jepang, Kenapa Kian Marak?
Sanseito juga mengusulkan pembatasan jumlah pekerja asing dan turis, serta menyerukan larangan kebijakan keragaman budaya.