ALASKA, KOMPAS.com — Negara bagian Amerika Serikat, Alaska, akan menjadi tuan rumah pertemuan antara Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden AS Donald Trump pada Jumat (15/8/2025).
Pertemuan di Alaska kali ini akan membahas isu besar, termasuk perang di Ukraina. Bagi sebagian pengamat, momen ini mengingatkan pada masa “detente” Perang Dingin.
"Ini adalah pertemuan yang dikemas secara klasik, seperti era detente," kata ilmuwan politik Rusia Fyodor Lukyanov di Telegram.
Baca juga: Penyesalan Rusia Usai Jual Murah Alaska ke AS
Namun, di balik momen diplomatik ini, Alaska menyimpan sejarah panjang yang menghubungkan Moskwa dan Washington, mulai dari kejayaan Kekaisaran Tsar hingga keputusan menjual wilayah ini pada 1867—langkah yang hingga kini masih memicu perdebatan di Rusia.
Dikutip dari First Post, Alaska mulai menarik perhatian Rusia pada 1725 ketika Tsar Peter Agung mengirim penjelajah Vitus Bering ke pesisir wilayah itu.
Kemudian, wilayah tersebut menjadi koloni Rusia sejak abad ke-18, dikelola oleh Russian-American Company (RAC) yang menguasai perdagangan bulu berang-berang laut, gading walrus, hingga es dan teh untuk diekspor.
Namun, di balik kejayaan itu, Alaska sulit dipertahankan. Jumlah penduduk Rusia di sana yang tidak pernah lebih dari 800 orang membuat Rusia sulit membangun koloni besar.
Kendala utama lainnya adalah komunikasi jarak jauh dan iklim ekstrem yang menyulitkan produksi pangan.
Setelah populasi berang-berang laut merosot, RAC akhirnya kehilangan sumber pendapatan. Perusahaan itu bahkan harus disubsidi negara 200.000 rubel (kini Rp 40,3 juta) per tahun.
Kondisi ini membuat Alaska menjadi beban finansial Moskwa. Situasi makin rumit ketika Rusia kalah dalam Perang Crimea (1853–1856) yang menguras kas negara.
Menurut Britannica, Moskwa juga harus menghadapi gesekan dengan Suku Tlingit yang kerap memicu bentrokan di Alaska.
Wilayah ini makin sulit dipertahankan secara militer karena adanya kapal-kapal Inggris yang menguasai jalur laut. Jika perang kembali pecah, Alaska bisa jatuh tanpa perlawanan.
Di sisi lain, hubungan Rusia dan AS sedang hangat, yang kemudian memunculkan ide untuk menjual Alaska pada 1859.
Setelah sempat tertunda akibat Perang Saudara Amerika, negosiasi dimulai kembali pada Desember 1866 saat Tsar Alexander II memerintahkan utusannya, Baron Eduard de Stoeckl, membuka pembicaraan dengan Menteri Luar Negeri AS William H Seward.
Pada 30 Maret 1867, Rusia resmi menjual Alaska ke AS, dengan harga 7,2 juta dollar AS—sekitar dua sen per acre—dibayar dalam emas.