Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa Halte, JPO, dan Gerbang Tol Kerap Jadi Sasaran Pembakaran?

Kompas.com - 03/09/2025, 08:00 WIB
Suhaiela Bahfein,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Aksi demonstrasi yang berawal di depan Gedung DPR RI berakhir ricuh dan meluas ke berbagai wilayah hingga menyebabkan kerusakan pada halte, jembatan penyebrangan orang (JPO), dan gerbang tol (GT).

Sedikitnya, enam halte TransJakarta terbakar dan rusak berat, 16 halte dirusak termasuk perangkat elektroniknya, belasan JPO pun dicorat-coret.

Kerusakan menjalar hingga Senen, Tanjung Priok, dan Cawang.

Di tengah kobaran api dan pecahan kaca, tersisa jejak kemarahan yang belum sempat dimaknai dan suara-suara yang gagal didengar.

Baca juga: Instran Kutuk Keras Pembakaran Halte TransJakarta dan Stasiun MRT

Insiden tragis yang menewaskan Affan Kurniawan, pengemudi ojek online, memicu kemarahan publik. Dia tewas setelah terlindas kendaraan taktis Brimob dalam kericuhan aksi.

Peristiwa itu terekam dan tersebar luas di media sosial, menggugah empati dan amarah.

Protes menjalar ke Solo, Bandung, Mataram, Makassar, dan kota-kota lainnya. Banyak yang berubah menjadi kerusuhan, fasilitas umum jadi sasaran.

Pemerhati Transportasi Muhammad Akbar menuturkan, ironisnya ini bukan kali pertama. Tahun 1998, 2019, 2020, dan kini 2025, setiap letupan sosial besar selalu meninggalkan jejak di halte, JPO, atau fasilitas umum lainnya.

Pola ini terus berulang. Fasilitas publik menjadi simbol frustasi dan ruang pelampiasan, serta cerminan rapuhnya relasi antara negara dan warga.

"Bukan karena disanalah akar masalahnya, tetapi karena hanya itu yang bisa dilihat, disentuh, dan dirusak," terang Akbar dalam siaran persnya, Selasa (2/9/2025).

Baca juga: Pasukan Kuning Berjibaku Bersihkan Halte Transjakarta yang Dibakar

Mengapa Halte, JPO, dan GT Kerap Jadi Sasaran Pembakaran?

Akbar menuturkan, halte dan JPO adalah representasi negara yang paling kasatmata yang mudah dijangkau, tersebar di jalan-jalan utama, tapi minim penjagaan.

"Tak seperti gedung pemerintah atau markas kepolisian yang dilindungi ketat, halte berdiri tanpa pagar, tanpa pagar kawat berduri, tanpa aparat bersenjata," tambah dia.

Oleh karena itu, ketika kemarahan massa menggelegak, halte jadi simbol yang paling mudah dimasuki, mudah dirusak, dan penuh makna.

Menurut Akbar, dia menjadi ruang paling dekat untuk menyalurkan kecewa yang tak tersampaikan.

Dalam psikologi sosial, kemarahan yang tidak dapat dilampiaskan langsung kepada sasaran utama, kerap mencari pelampiasan yang lebih dekat dan lebih lemah.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau