JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) mulai menyosialisasikan program anyar berupa Kredit Usaha Rakyat (KUR) Perumahan.
Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait memastikan program ini akan menjadi motor penggerak sektor perumahan dengan gelontoran dana mencapai Rp 130 triliun dari Danantara.
"Program KUR Perumahan adalah langkah bersejarah bagi bangsa Indonesia. Terima kasih atas dukungan Presiden Prabowo terbesar, Danantara, Kemenko Perekonomian, Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN dalam program KUR Perumahan ini," ujarnya, saat sosialisasi di Bandung, Jawa Barat, Kamis (28/8/2025).
Baca juga: Ara Ajak Pengusaha Muda Manfaatkan KUR Perumahan, Ini Syaratnya
Untuk memastikan program ini berjalan efektif dan tepat sasaran, Kementerian PKP akan terus berkoordinasi dan bersinergi dengan berbagai pihak.
Ini mencakup Kementerian/Lembaga terkait seperti Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Keuangan, serta lembaga pengawas seperti BPK dan BPKP.
Koordinasi ini penting dalam penyusunan Peraturan Menteri PKP yang sesuai dengan tata kelola yang baik.
Kementerian PKP siap berkoordinasi dan belajar dari berbagai pengalaman ekosistem perumahan dan Kementerian/Lembaga seperti Kemenko Perekonomian dan Kementerian Keuangan.
Baca juga: Begini Kriteria dan Syarat Penerima KUR Perumahan
"Selain itu juga berkoordinasi dengan BPK dan BPKP guna mempersiapkan Peraturan Menteri yang baik dari sisi mekanisme, sasaran serta aturan yang sesuai tata kelola yang baik," jelas Ara.
Visi dan misi yang sama untuk menyukseskan Program 3 Juta Rumah menjadi landasan koordinasi antara Kementerian PKP dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Keuangan dalam penyusunan tiga Peraturan Menteri terkait KUR Perumahan.
Namun, di balik optimisme tersebut, muncul kritik tajam dari akademisi yang menilai program ini salah sasaran dan tidak akan efektif.
Pengamat sektor perumahan ITB, Jehansyah Siregar berpendapat, KUR Perumahan hanya akan menjadi kebijakan coba-coba yang justru akan menguntungkan spekulan, alih-alih masyarakat berpenghasilan rendah yang paling membutuhkan tempat tinggal terjangkau.
Baca juga: Ara Pede Serapan KUR Perumahan di Jabar Tembus Rp 40 Triliun
Menurut Jehansyah, akar masalahnya terletak pada kekeliruan konsep. Program KUR, yang selama ini sukses menyokong usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), dinilai tidak cocok diterapkan pada sektor perumahan.
Ia menjelaskan, proses produksi perumahan sangat berbeda dengan usaha UMKM seperti pembuatan tempe atau camilan.
Usaha perumahan melibatkan proses pengembangan kawasan yang sangat rumit dan membutuhkan peran besar pemerintah, bukan sekadar gelontoran dana.
"Dengan menyasar UMKM, kebijakan ini tidak akan menyentuh langsung masyarakat di tingkat bawah yang menjadi target utama program perumahan rakyat," ujar Jehansyah kepada Kompas.com.
Kritik Jehansyah ini menemukan konteksnya saat membandingkan dengan kebijakan perumahan di negara lain.
Singapura, misalnya, telah menjadikan kepemilikan rumah sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas nasionalnya.
Baca juga: 2 September, Sosialisasi KUR Perumahan Perdana, Lokasi di Jawa Barat
Model yang dibangun oleh Housing & Development Board (HDB) di Singapura menunjukkan bahwa solusi perumahan rakyat harus dipimpin oleh pemerintah secara langsung.
Alih-alih hanya mengandalkan skema pembiayaan, pemerintah Singapura bertindak sebagai "pengembang" yang menyediakan beragam jenis hunian bersubsidi.
Melalui skema ini, warga Singapura, terutama keluarga pertama, bisa mendapatkan subsidi besar hingga Rp 230 juta untuk membeli rumah.
Bahkan, pemerintah Singapura juga memberikan prioritas khusus kepada kelompok-kelompok rentan seperti keluarga muda, keluarga dengan anak kecil, hingga lansia yang ingin tinggal dekat dengan anak-anaknya.
Tak hanya itu, mereka bahkan memiliki tim khusus yang membantu keluarga di rumah sewa untuk bisa memiliki rumah sendiri.
Perbedaan fundamental ini menunjukkan dua pendekatan yang kontras. Indonesia mencoba menyelesaikan masalah perumahan melalui jalur pembiayaan ala UMKM, dengan risiko program ini hanya akan menyentuh segmen yang sudah mapan.
Sebaliknya, Singapura menjadikan perumahan sebagai isu nasional yang dipimpin langsung oleh negara, fokus pada produksi hunian yang berkelanjutan dan terjangkau, serta memastikan distribusi yang adil kepada setiap lapisan masyarakat.
Baca juga: Sosialisasi Perdana KUR Perumahan Digelar 28 Agustus 2025 di Jakarta
Meskipun niat pemerintah untuk mengatasi backlog perumahan patut diapresiasi, pandangan kritis ini menjadi pengingat bahwa persoalan perumahan rakyat membutuhkan solusi yang lebih komprehensif.
Bukan sekadar menggelontorkan dana triliunan, melainkan sebuah strategi pembangunan kawasan yang matang dan berpihak kepada rakyat yang benar-benar membutuhkan.
Sebagaimana diketahui, sama seperti Indonesia, Singapura menghadapi tantangan berat: menyediakan hunian layak di lahan yang sangat terbatas sejak kemerdekaan.
Namun, alih-alih menyerah pada keterbatasan, negara ini mengubahnya menjadi sebuah cerita sukses.
Lebih dari satu juta unit hunian publik, yang dikelola oleh HDB, kini tersebar di 24 kawasan. Model inilah yang memastikan setiap warga Singapura punya tempat berteduh.
Baca juga: Menguak Paradoks KUR Perumahan
Lalu, apa rahasianya?
Kunci utamanya adalah komitmen kuat pemerintah yang tak hanya membangun rumah, tapi juga menciptakan lingkungan hidup yang berkualitas.
Untuk mengatasi tingginya harga properti, pemerintah Singapura memberikan subsidi besar, terutama bagi pembeli pertama.
Harga unit baru dari HDB dijual dengan diskon signifikan dari harga pasar, dan pembeli yang memenuhi syarat bisa mendapatkan subsidi tambahan.
Untuk Keluarga: Pasangan yang baru pertama kali membeli rumah bisa mendapatkan hibah (grant) hingga $120.000 untuk unit baru, atau bahkan mencapai $230.000 untuk unit yang dijual kembali di pasar terbuka.
Untuk Kaum Lajang: Sejak Oktober 2024, para lajang berusia 35 tahun ke atas bisa membeli unit baru di lokasi mana pun, tak lagi terbatas di kawasan non-dewasa. Mereka juga berhak mendapatkan hibah hingga $60.000 untuk unit baru.
Berkat skema ini, sekitar 8 dari 10 keluarga yang membeli rumah pertama di Singapura tidak perlu mengeluarkan uang tunai dari kantong mereka untuk cicilan.
Singapura sangat serius dalam mengurangi waktu tunggu. Pemerintah memprioritaskan pasokan unit bagi kelompok yang paling membutuhkan, seperti pasangan menikah pembeli pertama, keluarga dengan anak kecil, orang tua lansia yang ingin tinggal dekat dengan anak mereka, dan keluarga yang tinggal di rumah sewa publik.
Baca juga: Indonesia Perlu HDB Seperti Singapura
Selain itu, HDB telah meluncurkan program unit dengan waktu tunggu lebih singkat, yakni hanya 2-3 tahun.
Untuk menjaga keadilan, pemerintah juga memperkenalkan kerangka klasifikasi baru yang membedakan proyek berdasarkan atribut lokasi, bukan lagi status kawasan dewasa (mature) atau tidak dewasa (non-mature).
Hal ini memastikan rumah tetap terjangkau dan lingkungan sosial tetap beragam.
Komitmen Singapura tidak berhenti pada pembangunan fisik. Pemerintah juga melakukan peremajaan kawasan dan menyediakan berbagai opsi hunian untuk lansia.
Bahkan, ada tim khusus bernama Homeownership Support Team (HST) yang dibentuk untuk memberikan bimbingan personal kepada keluarga yang sebelumnya tinggal di rumah sewa, membantu mereka mewujudkan impian memiliki rumah sendiri.
Model perumahan Singapura membuktikan bahwa dengan perencanaan matang dan kebijakan yang berpihak pada rakyat, masalah ketersediaan hunian bisa diatasi.
Ini bukan hanya tentang menyediakan atap, tetapi juga tentang membangun komunitas, menjaga keanekaragaman, dan memastikan setiap warga bisa memiliki rumah yang layak.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini