JAKARTA, KOMPAS.com - Sidang lanjutan perkara perdata Nomor 208/Pdt.G/2025/PN.Jkt.Pst antara perusahaan Pontjo Sutowo, PT Indobuildco, melawan Menteri Sekretaris Negara, Pusat Pengelolaan Komplek Gelora Bung Karno (PPKGBK), Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Menteri Keuangan, serta Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Pusat kembali digelar pada Selasa (07/10/2025).
Dalam sidang tersebut, PT Indobuildco berargumen bahwa Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor 26/Gelora dan HGB Nomor 27/Gelora, yang merupakan lokasi berdirinya Hotel Sultan, berada di atas tanah negara bebas, bukan di atas tanah Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Nomor 1/Gelora.
Baca juga: PPK GBK Siap Hadapi Gugatan Pontjo Sutowo soal Hotel Sultan
Oleh karena itu, menurut PT Indobuildco, pembaruan HGB tersebut tidak memerlukan rekomendasi dari Menteri Sekretaris Negara dan PPKGBK selaku pemegang HPL.
Selain itu, perusahaan juga menuntut ganti rugi senilai sekitar Rp 28 triliun atas tanah dan bangunan tersebut.
Untuk memperkuat posisi hukum pemerintah, Menteri Sekretaris Negara dan PPKGBK menghadirkan Maria SW Sumardjono selaku Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), sebagai ahli hukum agraria dalam persidangan.
Maria menjelaskan bahwa tanah yang dibebaskan Pemerintah Republik Indonesia pada 1959-1962 untuk penyelenggaraan Asian Games IV merupakan tanah yang dikuasai penuh oleh negara dan telah dilekati HPL.
"Sejak pembebasan tanah dilakukan dengan pembayaran ganti rugi kepada masyarakat, pemerintah memiliki hak penguasaan terhadap tanah tersebut. Hak ini kemudian secara otomatis dikonversi menjadi HPL berdasarkan Pasal 2 Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965," ujar Maria dalam sidang, dikutip dari keterangan resmi.
Baca juga: Perusahaan Pontjo Sutowo Kembali Gugat Pemerintah Soal Hotel Sultan
Ia menegaskan, penerbitan HPL 1/Gelora atas nama Kementerian Sekretariat Negara c.q. PPKGBK pada 1989 merupakan bentuk pengadministrasian atas tanah yang sebelumnya telah dibebaskan untuk kepentingan negara.
Lebih lanjut, Maria menyebutkan bahwa apabila suatu HGB didasarkan pada izin penggunaan tanah, maka hal itu menunjukkan bahwa HGB tersebut diterbitkan di atas tanah HPL.
Menanggapi masih berlangsungnya kegiatan komersial oleh PT Indobuildco di atas tanah eks HGB tersebut, Maria menilai tindakan itu sebagai perbuatan melawan hukum.
"Hubungan hukum antara badan usaha dengan tanah HGB sudah hapus. Pemegang HPL berhak meminta badan usaha mengosongkan dan mengembalikan tanah serta bangunan di atasnya," ujarnya.
Baca juga: Negara Harus Menang Lawan Pontjo Sutowo, Nusron Perjuangkan Hotel Sultan
Dalam persidangan juga terungkap bahwa seluruh bangunan di atas tanah eks HGB 26/Gelora dan 27/Gelora telah dicatatkan sebagai bangunan milik negara dengan prinsip kehati-hatian.
Sebelumnya, permohonan pembaruan kedua HGB tersebut oleh PT Indobuildco telah dinyatakan tidak dapat ditindaklanjuti oleh Kantor Pertanahan Jakarta Pusat pada 13 Desember 2023.
Hal itu karena PT Indobuildco tidak memperoleh rekomendasi tertulis dari Menteri Sekretaris Negara c.q. PPKGBK sebagai pemegang HPL, sebagaimana disyaratkan dalam peraturan perundang-undangan.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang