Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Misteri Milky Seas: Mengapa Lautan Kadang Terlihat Bercahaya?

Kompas.com - 10/04/2025, 09:44 WIB
Wisnubrata

Penulis

KOMPAS.com - Bayangkan malam di tengah samudra luas, tanpa cahaya kota atau daratan, tiba-tiba laut di sekelilingmu memancarkan sinar hijau pucat yang lembut dan menyala seperti bintang-bintang yang bersinar dalam gelap. Fenomena ini bukanlah khayalan atau efek film fiksi ilmiah, melainkan fenomena alam nyata yang dikenal sebagai milky seas atau "lautan susu."

Selama berabad-abad, para pelaut melaporkan kejadian aneh ini — penampakan bagian lautan yang bercahaya pada malam hari, seperti hamparan susu bercahaya yang membentang sejauh mata memandang. Cahaya ini begitu terang hingga bisa digunakan untuk membaca di geladak kapal. Luasnya bisa mencapai 100.000 kilometer persegi—nyaris seukuran Islandia—dan bahkan dapat terlihat dari luar angkasa.

Fenomena ini dinamakan milky seas oleh para pelaut, namun meskipun laporan telah ada sejak ratusan tahun lalu, para ilmuwan baru dalam beberapa dekade terakhir mulai memahami penyebabnya. Cahaya ini diyakini berasal dari bakteri bioluminesen, terutama spesies Vibrio harveyi, yang mampu menghasilkan cahaya dalam kondisi tertentu.

Cahaya dari Kehidupan Mikro

Bioluminesensi bukanlah hal baru di alam. Kita mengenal kunang-kunang sebagai contoh paling populer. Namun, bagaimana bakteri di laut bisa memancarkan cahaya dalam skala besar masih menjadi teka-teki.

Satu petunjuk berasal dari pertemuan tak disengaja kapal riset dengan milky sea pada 1985, di mana mereka menemukan bahwa bakteri bercahaya hidup di permukaan alga yang membentuk "bloom" atau bunga — mungkin menjelaskan cahaya yang menyebar merata ke segala arah.

Namun, ini hanyalah satu titik data yang bisa jadi menyesatkan. Karena itu, para ilmuwan  mencoba menggabungkan pengamatan dari satelit dengan prediksi iklim untuk memperkirakan kapan dan di mana fenomena ini muncul.

Baca juga: DKP Gunung Kidul Akan Selidiki Fenomena Cahaya di Laut Selatan

Saat Laut Jawa Menyala

Citra satelit dari peristiwa ?lautan susu? yang terjadi di dekat pantai Jawa pada bulan Agustus 2019. CSU/CIRA dan NOAA/NESDIS Citra satelit dari peristiwa ?lautan susu? yang terjadi di dekat pantai Jawa pada bulan Agustus 2019.

Salah satu kemajuan besar dalam studi milky seas datang dari peristiwa tahun 2019 di lepas pantai Jawa. Ketika ilmuwan atmosfer Steven Miller dari Colorado State University (CSU) menerbitkan studi berbasis data satelit tentang kemungkinan milky sea di wilayah itu, ia tak menduga akan dihubungi oleh saksi mata langsung.

Naomi McKinnon, awak kapal layar bernama Ganesha, menghubungi Miller dan membagikan foto-foto peristiwa tersebut. “Saya tidak menyadari saat itu bahwa saya sedang menyaksikan sesuatu yang sangat langka,” ujarnya. Cahaya yang terlihat berasal dari kedalaman sekitar 10 meter dan membentang seluas 98.000 km persegi. Foto-foto ini menjadi dokumentasi visual pertama milky sea dari permukaan laut.

Ketika awak kapal menimba air laut ke dalam ember, mereka melihat titik-titik cahaya yang menyala stabil, bukan berkedip seperti plankton. Ini memperkuat dugaan bahwa sumber cahaya adalah bakteri, bukan protista.

Bagaimana Lautan Bisa Menyala?

Menurut Kenneth Nealson, ahli mikrobiologi dari University of Southern California, bakteri seperti Vibrio harveyi mungkin menggunakan cahaya untuk menarik perhatian ikan—tujuan akhirnya adalah dimakan dan hidup dalam saluran pencernaan ikan, tempat yang lebih stabil daripada laut terbuka.

Namun, satu bakteri terlalu kecil untuk menarik perhatian. Untuk menyalakan laut, mereka harus bekerja sama. Lewat proses yang disebut quorum sensing, bakteri akan menyala hanya jika mereka mendeteksi cukup banyak “teman” di sekitar mereka—sekitar 10 hingga 100 juta bakteri per mililiter air.

Kondisi ini bisa terjadi di wilayah upwelling seperti barat laut Samudra Hindia, di mana arus membawa material organik kaya nutrisi ke permukaan. Jika air ini terjebak karena perbedaan salinitas atau suhu, terbentuklah “flask alami”—sejenis sup mikroba yang ideal untuk menyinari laut.

Baca juga: Cerita Nelayan dan Pemancing Lihat Langsung Munculnya Cahaya dari Laut

Jejak 400 Tahun: Dari Catatan Pelaut hingga Satelit

Untuk mendalami lebih jauh, para peneliti dari Colorado State University (CSU) membangun arsip data sepanjang 400 tahun. Penelitian yang diterbitkan dalam Earth and Space Science ini menggabungkan catatan sejarah pelaut, jurnal pengamat laut selama 80 tahun, serta pengamatan satelit modern. Ini adalah basis data paling komprehensif tentang milky seas dalam 30 tahun terakhir.

Hasilnya menunjukkan bahwa fenomena ini paling sering terjadi di sekitar Laut Arab dan Asia Tenggara, dan tampaknya berkaitan dengan pola iklim besar seperti Indian Ocean Dipole dan El Niño Southern Oscillation. Kedua fenomena ini dikenal mempengaruhi pola cuaca global, sehingga menimbulkan pertanyaan: apakah milky seas juga merupakan bagian dari sistem iklim Bumi?

Awak kapal Ganesha mengabadikan cahaya laut milky sea dengan kamera GoPro (kiri) dan ponsel pintar Samsung (tengah). Gambar di sebelah kanan telah dikoreksi warnanya agar sesuai dengan ingatan awak kapal.
Awak kapal Ganesha mengabadikan cahaya laut milky sea dengan kamera GoPro (kiri) dan ponsel pintar Samsung (tengah). Gambar di sebelah kanan telah dikoreksi warnanya agar sesuai dengan ingatan awak kapal.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau