KOMPAS.com – Krisis transportasi yang melanda Pulau Enggano, Bengkulu, selama lebih dari empat bulan terakhir berdampak besar terhadap kondisi ekonomi, pendidikan, dan kesehatan masyarakat.
Sejak pendangkalan terjadi di Pelabuhan Pulau Baai, Kota Bengkulu, layanan angkutan laut ke Pulau Enggano lumpuh. Dampaknya, lebih dari 4.000 warga terisolasi dan ratusan hasil bumi tak bisa dijual.
“Empat bulan hasil panen pisang saya membusuk. Tidak ada kapal yang datang. Mungkin karena pisang tidak semahal nikel, jadi pemerintah tidak peduli seperti di Papua,” keluh Iwan, warga Pulau Enggano, dalam keterangan resmi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bengkulu yang diterima Kompas.com, Minggu (22/6/2025).
Baca juga: 4.000 Warga Enggano 4 Bulan Terisolasi, Rieke Diah Pitaloka: Tetapkan Status Darurat!
Iwan merupakan satu dari ratusan petani pisang di Enggano yang kehilangan mata pencaharian. Sebelum krisis transportasi laut, ia rutin mengirimkan uang Rp 300.000 setiap dua pekan untuk kebutuhan kuliah dan sekolah anak-anaknya di Kota Bengkulu. Kini, bantuan itu terhenti.
“Anak saya sudah mengeluh. Saya hanya bisa bilang sabar. Pisang belum laku, Bapak sama Ibu belum punya uang,” ujar Iwan.
Kapal ferry Pulo Tello yang biasanya melayani rute ke Enggano berhenti beroperasi sejak Maret 2025.
Meskipun sempat ada kapal dari beberapa tauke pisang asal Kota Bengkulu, harga beli yang mereka tawarkan sangat rendah, yakni hanya Rp 20.000 per tandan.
Padahal harga normal mencapai Rp 55.000. Biaya tebang dan angkut saja sudah menyentuh Rp 15.000, sehingga petani lebih memilih membiarkan pisang membusuk di kebun.
Baca juga: Pulau Enggano Sekarat: 4 Bulan Warga Terisolasi, Anak-anak Terancam Putus Sekolah, Ekonomi Hancur
Kondisi serupa dirasakan Yudi, warga Desa Meok. Ia menyebut omzet warung miliknya yang biasa mencapai Rp 10 juta kini tinggal setengahnya. “Yang ada cuma utang yang menumpuk,” katanya.
Sementara itu, Harun Kaarubi, mantan tokoh adat Paabuki, mengaku sudah menunggak pembayaran PDAM selama empat bulan karena tak memiliki penghasilan.
“Kalau bisa, selama kondisi ini ada kebijakan khusus. Setidaknya diskon atau keringanan bayar,” katanya.
Susi, ibu rumah tangga di Desa Malakoni, juga merasakan dampaknya. Ia kini menghemat pembelian token listrik.
“Token, PDAM, kan tak bisa diutang. Jadi saya isi setengah saja, yang penting lampu hidup,” ujarnya.
Tidak hanya perekonomian, krisis transportasi di Pulau Enggano juga berdampak pada sektor kesehatan dan pendidikan. Warga kesulitan mengakses layanan medis karena pesawat selalu penuh dan kapal laut harus berlabuh jauh dari pantai.
Baca juga: Warga Pulau Enggano Rugi Rp 2 Miliar per Bulan Imbas Pendangkalan Pelabuhan
Belum lama ini, seorang pasien tak sadarkan diri harus menempuh perjalanan laut selama 12 jam untuk dievakuasi keluar pulau.