KOMPAS.com - Fosil Archaeopteryx sering dihubungkan dengan teori evolusi Darwin.
Berdasarkan struktur yang terbentuk dari fosil-fosilnya, Archaeopteryx sendiri dipercaya oleh para ilmuwan merupakan dinosaurus pertama yang bisa terbang.
Oleh karena itu, fosil hewan purba tersebut diduga hubungannya dengan burung-burung yang eksis sekarang ini.
Menurut studi yang terbit dalam jurnal Nature tahun 2024, struktur tubuh spesimen "Archaeopteryx Chicago" memberikan bukti tambahan bahwa hewan purba ini bisa terbang.
Fosil Archaeopteryx memang telah ditemukan sejak 160 tahun lalu, tetapi banyak temuan yang mengembangkan informasi mengenai spesies tersebut.
Kali ini, para ilmuwan dari Field Museum di Amerika Serikat secara menunjukkan fosil Archaeopteryx paling lengkap yang pernah ditemukan.
Berkat kondisi fosil yang terawat, mereka dapat menggali informasi dari ratusan juta tahun lalu dan membuat kesimpulan baru mengenai hewan purba ini.
Pakai teknologi baru untuk mengamati fosil
Fosil "Archaeopteryx Chicago" ini awalnya merupakan milik pribadi seseorang sebelum tahun 1990. Kemudian, fosil disumbangkan kepada Field Museum pada 2022 lalu.
Untuk diketahui, fosil ini ditemukan di batu kapur Solnhofen, Jerman, lokasi tempat semua fosil Archaeopteryx sebelumnya ditemukan.
Karena ukurannya yang kecil, proses mengeluarkan fosil tersebut dari batuan kapur perlu banyak usaha.
Bahkan, para ilmuwan membutuhkan waktu lebih dari setahun untuk mengeluarkan fosil tersebut dari batuan kapur.
Fosil ini pun keluar dalam keadaan utuh. Selain itu, kondisi yang terawat hingga diterima Field Museum membuatnya dapat diteliti dengan seksama.
Meskipun demikian, warna fosil ini hampir menyatu dengan batuan kapur di sekitarnya. Sehingga, para peneliti perlu melakukan mengamatinya dengan ultraviolet (UV) dan CT Scan.
Dari sana, ditemukan tulang belulang dan jaringan lunak yang berpendar di bawah sinar UV.
Sebagai hasilnya, para ilmuwan menemukan bagian yang belum pernah terlihat dari fosil sebelumnya.
Hal ini diduga karena metode penggalian di masa lalu belum sehalus sekarang, sehingga menghilangkan beberapa bagian yang terawetkan.
Lewat jaringan lunak fosil yang kini bisa diamati, ilmuwan memperkirakan bahwa Achaeopteryx kemungkinan besar berbulu dan bisa terbang.
Lapisan bulu memungkinkan Archaeopteryx bisa terbang
Mereka menemukan Archaeopteryx mempunyai bagian sayap yang tertutup bulu bernama bulu tertial.
Pada burung modern, lapisan bulu ini berfungsi menjaga kestabilan aliran udara. Cara kerja bulu tertial ini adalah menutup celah antara tubuh dan sayap supaya udara tidak lolos dari sana.
Adanya celah antara tubuh dan sayap dapat mengganggu daya angkat yang membuatnya bisa terbang.
Keluar masuknya udara melalui celah tersebut tidak akan membuat Archaeopteryx bisa terbang jika tidak tertutup bulu. Bulu tertial ini pada fosil ini tidak ditemukan pada kerabat dinosaurus-dinosaurus lain yang tidak bisa terbang.
Untuk diketahui, burung-burung modern punya tulang lengan atas yang lebih pendek dan bulu tertial khusus.
Fosil Archaeopteryx menunjukkan mereka mempunyai bulu tertial panjang selayaknya burung-burung yang kini ada.
Temuan ini pun memperkuat teori Archaeopteryx bisa terbang dan berevolusi lebih dari satu kali di antara dinosaurus.
Selain bulu, ilmuwan juga menemukan detail yang tak kalah penting pada Archaeopteryx Chicago seperti
Kesimpulan ini mendukung teori Darwin tentang evolusi makhluk hidup, termasuk hewan-hewan purba merupakan nenek moyang dari satwa yang eksis sekarang ini.
Menurut para ilmuwan yang menyusun jurnal ini, temuan jaringan lunak Archaeopteryx hanyalah awal dari riset-riset lanjutan.
Para penulis telah melibatkan pengamatan menggunakan teknologi modern dan mendapatkan temuan baru berkatnya. Sehingga, mereka berharap cara ini dapat membawa perkembangan pada ilmu pengetahuan.
https://www.kompas.com/tren/read/2025/05/21/194500665/fosil-utuh-archaeopteryx-jawab-misteri-evolusi-dinosaurus-bisa-terbang