Sedangkan kalau AI atau ‘sesuatu’ yang bisa dikatakan objek itu, walaupun dianggap memiliki kapasitas yang sama/mirip, jawaban dari pertanyaan kepadanya tergantung sekali dari kualitas pertanyaan yang diajukan.
Semakin bagus/dalam/kritis suatu pertanyaan, maka respons yang diberikan dengan sendirinya akan memberikan sesuai dengan “big data” yang dimiliki AI itu sendiri.
Maka objektivitas dalam pertanyaan manusia akan menjadi problem tersendiri; karena tidak jarang kalau yang bertanya itu tidak terlatih secara kritis, maka dia akan berhenti mendalami jawaban dari pemberi jawaban.
Di sisi lain, jika bertanya kepada manusia, bisa jadi pertanyaannya terlihat dangkal. Namun tidak jarang orang yang ditanya akan memberi jawaban berbeda, lebih mendalam, dan kadang bisa menghasilkan diskusi baru.
Dengan pola diskursif seperti ini, yang tentu berpotensi menghasilkan ilmu baru, justru pada ‘generasi tanpa diskusi’ malah berpeluang menghasilkan manusia yang kurang cerdas.
Mengapa disebut kurang cerdas? Karena kecerdasan salah satunya dihasilkan dari kemampuan seseorang melakukan diskusi secara kritis dengan pihak lain; Keberbedaan perspektif, cara pandang keilmuan dan lain sebagainya merupakan proses epistemmis yang berpotensi menghasilkan ilmu pengetahuan baru tersebut.
Sedangkan ketika kita bertanya dan dijawab AI secara objektif dan monologis, maka peluang menghasilkan ilmu baru menjadi sedikit, malah bisa jadi tidak ada.
Sebab AI hanya menghasilkan jawaban yang memuaskan penanya. Tidak seperti manusia yang kadang-kadang bisa nyebelin, membuat marah atau melegakan karena memuji dan sebagainya.
Diskusi merupakan proses di mana daya kritisisme seseorang di hadapan sesama subyek bisa fluktuatif-dinamis.
Sehingga manusia dituntut untuk bersikap dan berperilaku berbeda-beda. Tentu saja, model sikap seperti ini merupakan suatu pembelajaran tersendiri bagi manusia.
Lalu, bagaimana kita mengatasi persoalan kemunculan generasi tanpa diskusi ini?
Terdapat sejumlah cara yang bisa dijadikan solusi untuk mengatasi persoalan ini. Pertama, ruang belajar atau ruang pendidikan tidak hanya dibentuk dalam format bertanya atau perintah kepada anak didik, tetapi juga tetap dibuat dalam pola saling membangun dan mengembangkan pertanyaan yang menghasilkan diskusi-diskusi baru.
Kedua, AI adalah suatu keniscayaan peradaban manusia hari ini. Namun, AI tidak bisa menggantikan ruang dan model diksusi antarmanusia.
Kesadaran bahwa posisi ini rentan hilang oleh manusia itu sendiri, harus direspons oleh para pemangku kepentingan agar proses dialog intersubyektif tetap dipelihara dalam berbagai peluang relasional manusia.
Sebagai manusia nalar kritisnya jangan sampai memudar. Kritisisme yang merupakan basis dari salah satu kemampuan manusia menalar persoalan-persoalan di lingkungannya jangan menjadi kenangan yang tersimpan di museum saja.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini