KOMPAS.com - Proyek tanggul laut raksasa atau giant sea wall sepanjang 500 kilometer yang membentang dari Banten hingga Gresik kembali menjadi sorotan.
Dengan nilai investasi mencapai Rp 1,28 kuadriliun, Presiden Prabowo Subianto mengeklaim proyek ini menjadi solusi untuk menahan laju kenaikan air laut sekaligus melindungi kawasan pesisir utara Jawa dari ancaman banjir rob.
Pemerintah menargetkan pembangunan infrastruktur raksasa ini selesai dalam rentang waktu 15 hingga 20 tahun ke depan.
Namun, ambisi besar tersebut menuai kritik dari berbagai kalangan.
Pasalnya, tanggul laut itu disebut akan berdampak serius bagi kelangsungan ekosistem laut di sepanjang pantai utara Jawa (pantura).
Baca juga: Tanggul Laut Pantura Telan Anggaran Rp 1,28 Kuadriliun, Pengamat: Pulau Jawa Akan Semakin Rusak
Manajer Kampanye Tata Ruang dan Infrastruktur di Organisasi gerakan lingkungan hidup terbesar di Indonesia, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Dwi Sawung mengatakan, pembangunan tanggul laut di pantura bisa menyebabkan terjadinya penurunan muka tanah secara cepat.
"Jika pemerintah ingin menghentikan penurunan muka tanah di pesisir utara Jawa, maka solusinya bukan dengan membangun tanggul laut raksasa," kata Dwi saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (30/8/2025).
"Tetapi, dengan mengevaluasi dan mencabut berbagai izin industri besar di sepanjang pesisir utara Jawa," lanjut dia.
Menurutnya, pembangunan tanggul laut raksasa akan mempercepat kebangkrutan sosial, sekaligus ekologis Pulau Jawa.
Sebab, proyek itu memperluas kehancuran dari daratan ke pesisir, laut, dan pulau kecil.
Baca juga: Akademisi UI: Giant Sea Wall Bakal Ubah Ekosistem Pesisir Pantura
Dwi mengatakan, pembangunan proyek tanggul raksasa akan menghancurkan wilayah pantai utara Jawa.
Pasalnya, proyek ini akan membutuhkan pasir laut yang tidak sedikit.
Berdasarkan estimasi Kementerian Kelautan dan Peraikanan (KKP), kebutuhan pasir laut untuk kebutuhan proyek reklamasi Teluk Jakarta pada 2021 sebanyak 388.200.000 meter kubik.
"Jumlah ini sangat besar untuk kebutuhan reklamasi di Jakarta saja," jelas dia.
Hal ini diperparah dengan punahnya spesies ikan langka, yakni ikan pari jawa atau Urolophus javanicus.