AKSI premanisme kembali terjadi. Kini, terjadi di Kemang Raya, Jakarta Selatan, dalam peristiwa bentrokan terkait sengketa kepemilikan lahan.
Bentrokan tersebut terjadi pada Rabu, 30 April 2025. Dalam video yang viral di media sosial, publik menyoroti penggunaan senjata laras panjang oleh salah satu kelompok.
Kelompok yang berada di jalanan terlihat mengeluarkan sejumlah senjata laras panjang dari dalam mobil dan mengarahkan kepada kubu lainnya. Sementara itu, kubu di balik tembok bangunan terlihat melempar benda ke arah lawan.
Kawasan Kemang bukan daerah konflik. Kemang merupakan kawasan urban ‘elite’ di Ibu Kota yang lokasinya relatif tak jauh dari Mabes Polri.
Jika para preman bisa memamerkan senjata tanpa gentar, lantas hukum macam apa yang masih bisa dibanggakan?
Baca juga: THR Dijaga Preman: Negara Tak Boleh Kalah
Fenomena ini bukan sekadar insiden. Ia adalah indikator kerusakan yang lebih dalam, yaitu premanisme bersenjata yang menunggangi kekosongan atau tumpulnya fungsi negara.
Sekali lagi saya mempertegas, bentrokan itu terjadi di jantung Ibu Kota, kawasan yang hanya berjarak kurang dari 5 kilometer dari Mabes Polri.
Bila di dekat institusi tertinggi penegakan hukum saja situasi sebrutal itu bisa terjadi, maka bagaimana rawannya keamanan masyarakat di wilayah-wilayah yang jauh dari sorotan pusat?
Negara hukum dalam doktrin dan praktiknya memiliki tanggung jawab untuk memastikan supremasi hukum (rule of law), menjamin ketertiban, dan melindungi warganya dari kekerasan, termasuk apapun bentuk premanisme.
Namun, insiden Kemang justru menyodorkan realitas ketidakhadiran aparat dalam merespons potensi konflik, keterlambatan dalam tindakan, dan kemunduran fungsi negara sebagai penyedia rasa aman dan nyaman.
Kalau kita masih teguh sebagai negara yang menyandang status sebagai rechtsstaat (negara hukum), apapun praktik premanisme, apalagi menggunakan senjata larang panjang, maka seharusnya adalah ‘zero tolerance’.
Jangan sampai, fungsi-fungsi negara hanya tampak secara simbolik dan seremonial, tetapi kehilangan daya kendali atas monopoli kekerasan yang seharusnya menjadi hak eksklusifnya.
Premanisme bersenjata di ruang publik adalah bentuk delegitimasi negara. Ketika kelompok preman tampil dominan dengan simbol-simbol kekuatan koersif seperti menggunakan senjata, maka yang terjadi bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga ancaman langsung terhadap kedaulatan hukum dan kepercayaan publik terhadap institusi negara.
Baca juga: Usul Vasektomi Jadi Syarat Bansos: Antara Progresivitas Semu dan Pelanggaran HAM
Masyarakat yang lalu-lalang di sekitar lokasi kejadian tentu bukan hanya terpapar bahaya fisik, tapi juga trauma sosial.
Mereka menyaksikan langsung kekacauan yang mengikis rasa aman sebagai Hak Asasi Manusia yang seharusnya dilindungi negara.