INDONESIA, yang dikenal sebagai negeri agraris berlimpah sumber daya alam, terutama dalam bentuk bahan pangan lokal seperti sagu dan singkong.
Namun ironisnya, sekitar 99 persen kebutuhan tepung terigu nasional masih bergantung pada impor gandum, terutama dari Australia, Kanada, dan Ukraina.
Volumenya lebih dari 11,7 juta ton pada 2024, dengan nilai impor 3,5 miliar dollar AS atau setara Rp 58 triliun (BPS, 2024).
Ketergantungan ini tidak hanya menciptakan kerentanan terhadap fluktuasi harga global dan gangguan rantai pasok, tetapi juga mengabaikan potensi kekayaan lokal yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Di sisi lain, potensi lahan sagu terbesar di dunia, dengan total sekitar 5,5 juta hektar dari 6,5 juta hektar lahan sagu global dan luas lahan singkong 600.000 hektar belum diberdayakan optimal untuk memenuhi kebutuhan industri pangan dalam negeri.
Sagu dan tapioka sebenarnya memiliki banyak keunggulan. Sagu mengandung sekitar 83 gram karbohidrat per 100 gram bahan dan dikenal rendah indeks glikemiknya, sehingga cocok untuk diet sehat dan penderita diabetes.
Baca juga: Kopi Artisanal dan Evolusi Selera Konsumen Modern
Sementara itu, tapioka dari singkong juga kaya akan energi, bebas gluten, dan bisa digunakan sebagai bahan dasar berbagai produk makanan olahan seperti mie, roti, dan kudapan modern.
Keunggulan lain adalah efisiensi lingkungan, di mana sagu tumbuh di lahan marginal dan rawa tanpa banyak input kimia, serta memiliki jejak karbon rendah.
Singkong pun dikenal sebagai tanaman yang tahan kering dan bisa ditanam hampir di seluruh
wilayah Indonesia.
Dengan pengembangan teknologi pengolahan dan dukungan kebijakan, kedua komoditas ini berpeluang besar menjadi substitusi strategis bagi tepung terigu.
Mendorong diversifikasi tepung berbasis lokal bukan sekadar solusi teknis, tetapi juga langkah strategis memperkuat kedaulatan pangan nasional.
Pemerintah telah menginisiasi program diversifikasi pangan melalui Peraturan Presiden No. 66 Tahun 2021 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi. Namun implementasinya masih lemah di
tingkat industri dan konsumen.
Dukungan terhadap riset, insentif bagi UMKM, dan edukasi konsumen menjadi kunci untuk mendorong adopsi tepung lokal dalam skala luas.
Dengan meningkatnya kesadaran akan pangan sehat dan tren keberlanjutan global, inilah momentum tepat bagi Indonesia untuk beralih dari ketergantungan pada impor gandum menuju pemanfaatan penuh potensi sagu dan singkong, dan bukan hanya sebagai alternatif, tetapi sebagai identitas pangan nasional.
Dari sisi gizi, perbandingan tiga jenis tepung ini menunjukkan karakter berbeda. Tepung terigu, terutama dari gandum utuh, unggul dalam hal kandungan protein (~13 g per 100 g) dan serat (~10,7 g), namun memiliki indeks glikemik (IG) tinggi yang kurang ideal bagi penderita diabetes atau mereka yang menjaga pola makan.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya