JAKARTA, KOMPAS.com – Ribuan korban keracunan makanan dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) sejak Januari 2025 hingga awal Oktober 2025 mencapai 6.517 orang. Biaya perawatan mereka kini bergantung pada status Kejadian Luar Biasa (KLB) yang ditetapkan pemerintah daerah.
Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana menjelaskan, ada dua skema pembiayaan.
Pertama, jika pemerintah daerah menetapkan status KLB, seluruh biaya korban ditanggung daerah melalui klaim asuransi. Kedua, bagi daerah yang tidak menetapkan KLB, pembiayaan langsung diambil alih BGN.
“Ada dua mekanisme penanggulangan biaya, dan ini sudah terjadi. Jadi ada dua daerah yang sudah menetapkan KLB di tingkat kota/kabupaten, dan ketika pemerintah kota/kabupaten menetapkan KLB, maka pemerintah daerah bisa mengklaim pendanaan itu ke asuransi,” ujar Dadan di gedung Kementerian Kesehatan, Jakarta Selatan, Kamis (2/10/2025).
Baca juga: BGN: Korban Keracunan MBG Ditanggung Pemda atau Pemerintah Pusat
Hingga saat ini, baru Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Garut di Jawa Barat yang menetapkan KLB.
Artinya, korban keracunan MBG di dua wilayah itu bisa langsung mendapat pembiayaan lewat klaim asuransi.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menegaskan, korban keracunan makanan MBG tetap mendapat pembiayaan dari pemerintah sesuai aturan yang berlaku.
Namun, ia menambahkan, kasus ini belum dapat ditetapkan sebagai KLB nasional karena prosedur hukum harus dipenuhi.
“Nanti ini (korban keracunan) ditanggung biayanya oleh pemerintah, dalam hal ini oleh BGN. Kalau KLB naik menjadi KLB nasional, itu sudah ada aturannya di Undang-undang dan Peraturan Presiden-nya,” kata Budi.
“Tapi nanti bisa ditanyakan ke teman-teman, untuk jadi KLB nasional harus ada berapa provinsi, berapa ini, berapa lama itu ada.”
Baca juga: Negara Bayar Premium, Anak-anak MBG Terima Makanan Murahan
Ombudsman RI mengungkap sejumlah masalah serius dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG). Meski negara membayar dengan harga premium, kualitas makanan yang diterima anak-anak jauh dari harapan.
Temuan mencakup bahan pangan yang tidak sesuai kontrak, pengolahan tanpa standar, hingga distribusi yang kacau.
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, menyebut beberapa dapur atau Satuan Pendidikan Pelaksana Gizi (SPPG) menerima sayuran tidak segar dan lauk-pauk yang tidak lengkap.
“Beberapa dapur juga menerima sayuran yang tidak segar setelah lauk pauk yang tidak lengkap. Hal ini terjadi karena belum adanya standar acceptance quality limit yang tegas, sehingga negara membayar dengan harga premium, sementara kualitas yang diterima anak-anak belum optimal,” ujar Yeka saat konferensi pers, Selasa (30/9/2025).
Baca juga: Masalah MBG Jadi Sorotan, Zulhas Akui Ada Kekurangan dan Tantangan
Masalah lain yang ditemukan adalah pengolahan pangan belum konsisten menerapkan standar hazard analysis and critical control point (HACCP), distribusi sering melanggar standard holding time, dan pengawasan digital oleh Badan Gizi Nasional belum efektif. Akibat lemahnya pengawasan ini, hingga Mei 2025 tercatat 17 kasus keracunan luar biasa.
Yeka menekankan pentingnya memperbaiki prosedur operasional standar dan menata distribusi agar lebih transparan. “Guru kembali menjadi tumpuan distribusi, meskipun mereka tidak mendapatkan dukungan tambahan yang semestinya. Situasi ini mencerminkan perlunya penataan tata kelola distribusi agar lebih setara, transparan, dan berpihak pada penerima manfaat,” ujarnya.
Baca juga: Perpres MBG Rampung Pekan Ini, Atur Standar Keamanan dan Higienitas Makanan
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang