PRAHARA konflik investasi di Pulau Rempang-Batam semakin memanas. Pulau Rempang, yang terletak dalam wilayah Kota Batam, Kepulauan Riau, saat ini menjadi sorotan nasional.
Bukan lagi karena keindahan alamnya, tetapi karena konflik antara pemerintah dan masyarakat setempat.
Konflik ini merupakan cerminan dari masalah dalam perencanaan investasi dan pembangunan yang tidak memadai, serta kurangnya keterlibatan masyarakat dalam proses tersebut.
Konflik lahan di Pulau Rempang berawal dari persetujuan investasi pada 2004. Mampukah pemerintah kita menyelesaikan persoalan dengan damai dan berkeadilan?
Pemerintah keliatannya sering kali terlalu terobsesi dengan capaian target investasi yang ambisius, tanpa mempertimbangkan dampak sosial dan lingkungan yang lebih luas.
Kasus Pulau Rempang adalah contoh nyata. Investasi besar yang diumumkan sebagai proyek strategis nasional sering kali mengesampingkan hak dan aspirasi masyarakat setempat.
Kinerja Investasi kita patut diacungi jempol atas capaian realisasi investasi tahun 2022 sebesar Rp 1.200 triliun. Target ini meningkat cukup signifikan dibandingkan 2021, yakni sebesar Rp 900 triliun. Bagaimana dengan 2023 ini?
Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat realisasi dalam enam bulan atau semester I-2023 adalah Rp 678,7 triliun.
Pada kuartal I-2023, realisasi investasi mencapai Rp 328,9 triliun dan kuartal II sebesar Rp 349 triiiun. Realisasi ini 48,5 persen dari target pada 2023 yang mencapai Rp 1.400 triliun.
Namun dibalik itu semua, tentunya kita juga harus kritis melihat bagaimana proses investasi itu dilakukan, jangan sampai mengorbankan hak-hak masyarakat dan memperhatikan masa depan aspek lingkungan.
Jangan sampai karena nafsu mencapai target investasi segala hal dihalalkan. Sebab masyarakat yang akan menjadi korban dan konflik tidak dapat dielakkan.
Salah satu masalah mendasar dalam kasus Rempang adalah kurangnya keterlibatan masyarakat dalam perencanaan dan pengambilan keputusan.
Aspirasi masyarakat Pulau Rempang sangat jelas, mereka tidak menolak investasi, tetapi 16 kampung tua—yang sudah dihuni turun temurun, diperkirakan sejak abad 19—agar tetap ada dan eksis berdampingan dengan proyek strategis nasional tersebut.
Apakah opsi ini pernah dibahas dengan masyarakat? Jangan sampai masyarakat hanya menjadi penonton dari mega proyek ratusan triliun rupiah yang digadang-gadang akan menarik potensi tenaga kerja ratusan ribu pencari kerja.
Pembangunan di Pulau Rempang kian terlihat usang dan terkesan tidak melibatkan partisipasi masyarakat setempat, yang berujung pada konflik dengan aparat keamanan.