SETELAH Pilpres 2024 selesai, panggung kandidasi kini bergeser ke ranah lokal. Bersamaan dengan dinamika yang muncul di tataran elite (baik lokal maupun nasional), terkait dengan bursa pencalonan kepala daerah, mata publik mulai memperhatikan satu per satu bakal calon yang muncul.
Entah itu mereka yang disebut oleh elite politik, mereka yang tertangkap radar survei, atau mereka yang direkomendasikan oleh partai atau gabungan partai politik pengusung. Bisa juga, ketiganya berkelindan dalam kemunculan salah satu calon.
Apapun, mekanisme penentuan calon kepala daerah selalu bersifat top down. Elite politik dan partai politik yang menentukan. Rakyat hanya bisa memilih kandidat yang ada.
Selain desain regulasi menghendaki demikian (UU No. 10 tahun 2016 tentang Pilkada), juga memang karena budaya politik elite yang mengondisikan demikian.
Pada akhirnya, rakyat hanya bisa melakukan sebagaimana yang dikatakan oleh Romo Frans Magnis Suseno, bahwa dalam Pemilu (termasuk Pilkada) bukanlah untuk memilih yang terbaik, tapi untuk mencegah yang terburuk dari kekuasaan.
Secara bijak, pandangan tersebut hendak menegaskan bahwa “pilihlah pasangan yang lebih baik di antara semua yang buruk”.
Menjadi pertanyaannya kemudian, bagaimana rakyat menentukan dan mengidentifikasi mana yang baik di antara semua calon yang buruk itu?
Persoalan ini tidak sederhana. Sebab, para politisi sendiri menyadari hal itu. Tak ayal banyak strategi yang dimunculkan para elite politik ketika akan atau nanti berlaga di panggung kandidasi politik, seperti mem-branding diri, pencitraan, agitasi, politik uang, dan sebagainya.
Bahkan untuk kepentingan itu, mereka menggaet konsultan politik, dari dalam dan luar negeri.
Muncul beragam upaya untuk merekayasa persepsi publik tentang seorang kandidat. Pelaku kekerasan bisa diubah menjadi orang humanis; koruptor menjadi dermawan; pembohong menjadi orang yang peduli nasib rakyat; pembunuh menjadi penegak keadilan; otoritarian menjadi demokratis; pelaku politik identitas menjadi orang yang inklusif.
Elite politik menyadari benar bahwa rakyat Indonesia sangat permisif. Ingatan mereka tentang “kejahatan” yang sudah dilakukan seseorang bersifat jangka pendek. Mudah lupa, mudah memaafkan, atau bahkan dipaksa untuk memaafkan.
Tentu saja, tidak hanya konsultan politik yang dibayar untuk merekonstruksi citra mereka, merekayasa persepsi publik tentang mereka.
Entitas suprastruktur lain, seperti media, kampus, juga kerap digunakan untuk kepentingan itu. Dengan mudah kita bisa melihat di media massa, seorang mantan napi koruptor diberi panggung dalam program-program bincang di televisi atau dikutip pandangannya di media-media cetak maupun online.
Ironisnya, mereka bicara tentang demokratisasi dan moralitas. Paradox! Kampus pun perlahan mengikuti irama dari genderang yang ditabuhkan oleh elite politik.
Muncul kemudian kumpulan-kumpulan akademisi, para profesor menolak atau mendukung seorang kandidat tertentu.