FENOMENA yang terjadi belakangan ini nampaknya memperlihatkan bagaimana hukum menjadi alat untuk memukul lawan-lawan politik. Ini telah terjadi selama hampir sepuluh tahun belakangan ini.
Kita mungkin masih ingat, bagaimana praktik memecah belah partai-partai politik. Dengan menggunakan instrumen kekuasaan, di Kementerian Hukum dan HAM, partai politik dengan mudahnya dipecah.
Perkelahian internal yang terjadi di beberapa partai, seperti Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Golkar misalnya, dijadikan instrumen bagi penguasa untuk ikut campur dalam urusan politik melalui “politik surat keputusan” dari menteri yang membidangi urusan itu.
Baca juga: Mahkamah Konstitusi Haram Membentuk Norma
Kedua partai itu dengan mudah dibuat berantakan dan membuatnya tidak berdaya. Perebutan legitimasi itu memaksa para elite partai untuk “jinak” pada kekuasaan.
Politik dengan menggunakan instrumen hukum untuk menundukkan lawan sudah dimulai sejak awal. Penggunaan otoritas politik untuk menduduki lembaga-lembaga independen misalnya, terjadi sedemikian sempurna.
Pelemahan institusional terhadap lembaga-lembaga negara terjadi. Pelemahan terhadap KPK dengan “mengusir” orang-orang berintegritas melalui tes Kemampuan Wawasan Kebangsaan yang sebenarnya hanya alat untuk menendang mereka.
Pelemahan institusional seperti pelemahan Mahkamah Konstitusi dengan mengubah dan mengotak-atik masa jabatan hakim dan independensi hakim MK.
Dengan lemahnya MK, maka produk legislasi DPR dan Presiden tidak ada lagi yang menghalanginya untuk merumuskan apa saja yang menjadi kehendak mereka.
Perubahan regulasi lembaga independen seperti Badan Pemeriksa Keuangan yang memungkinkan orang politik masuk di dalamnya, begitu juga dengan Otoritas Jasa Keuangan yang hendak dimasukkan oleh para politisi. Lembaga-lembaga independen dilemahkan.
Ketika semua lembaga lemah, maka otoritas eksekutif akan semakin kuat, dan dengan mudah mengendalikan semua lembaga negara dengan mengisinya dengan orang-orang bermasalah. Inilah yang akhirnya menghilangkan check and balances dalam pemerintahan.
Bagaimana kekuasaan mengendalikan musuh-musuhnya dan menundukkan lawan-lawannya? Cukup sandera mereka dengan hukum, lalu mereka akan tunduk sepenuhnya. Itulah pedoman dari para penguasa tiran.
Para tiran-tiran di dunia, menggunakan hukum sebagai senjata. Hitler di Jerman, Idil Amin di Uganda, Mussolini di Italia adalah sebagian contoh kecil bagaimana hukum dijadikan senjata untuk membunuh lawan-lawan politiknya.
Mereka tiran dalam arti yang sesungguhnya. Menggunakan politik teror dengan cara bengis dan kejam. Pemerintahannya dibangun di atas tulang belulang kemanusiaan.
Rezim tiran semacam itu mungkin kurang populer lagi di zaman moderen ini, sebab politik moderen begitu canggih, tetapi kecanggihannya tidak mampu menghalau para otokrat naik tahta.
Rezim yang tiran dan kejam masih hidup dalam bentuk yang soft, yaitu otokrasi. Pemerintahannya mirip seperti tirani.