DI TENGAH dinamika global yang semakin kompleks, strategi baru Amerika Serikat terkait pencegahan ancaman nuklir dari China, Rusia, dan Korea Utara menjadi isu sentral yang perlu mendapat perhatian khusus.
Tanda tangan Presiden Joe Biden pada Maret lalu, menegaskan perubahan arah kebijakan AS dalam menghadapi potensi ancaman dari negara-negara yang mengembangkan senjata nuklir dengan pesat.
Pertanyaannya adalah, bagaimana seharusnya Indonesia bersikap di tengah ketegangan global yang semakin meningkat ini?
Secara historis, perkembangan senjata nuklir bermula dari Perang Dunia II, ketika AS menggunakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki.
Dampak kehancuran massal yang ditimbulkan kedua bom tersebut memicu perlombaan senjata nuklir di era Perang Dingin.
Blok Barat, yang dipimpin oleh AS, dan Blok Timur dengan Uni Soviet sebagai kekuatan utama, saling berlomba menambah jumlah dan kecanggihan hulu ledak nuklir mereka. Akibatnya, dunia berada dalam ketegangan yang konstan selama beberapa dekade.
Di sisi lain, China mulai mengembangkan program senjata nuklirnya pada Oktober 1964. Selama beberapa dekade, perkembangan ini berjalan relatif lambat.
Namun, di bawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping, modernisasi militer China, termasuk peningkatan jumlah senjata nuklir, berlangsung sangat pesat.
Xi berhasil meningkatkan jumlah hulu ledak China menjadi sekitar 500 unit saat ini, jauh meningkat dibandingkan era awal kepemimpinannya pada 2012 yang hanya sekitar 60 rudal antarbenua.
Menurut prediksi, China akan mencapai sekitar 1.500 hulu ledak pada 2030, sejajar dengan kekuatan nuklir AS dan Rusia (Kaplan, 2023).
Strategi nuklir AS, yang kini menaruh perhatian besar pada kemungkinan ancaman gabungan dari China, Rusia, dan Korea Utara, dapat dianalisis melalui perspektif neo-realisme dalam hubungan internasional.
Neo-realisme menekankan bahwa negara-negara bertindak untuk memaksimalkan kekuatan dan keamanan mereka dalam sistem internasional yang anarki.
Dalam konteks ini, langkah AS dapat dipahami sebagai upaya mempertahankan keseimbangan kekuatan global (Waltz, 1979).
Kebijakan AS yang menyoroti potensi kolaborasi trilateral antara China, Rusia, dan Korea Utara menunjukkan adanya kekhawatiran tentang perubahan struktur kekuatan internasional.
Hubungan erat antara ketiga negara tersebut, yang terlihat dari kerja sama militer dan diplomatik, mengancam posisi AS dan sekutunya.