SUATU ketika tahun 2000, ada seorang calon bupati salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan ingin memenangkan kontenstasi kepala daerah di Dewan Perwakilan rakyat Daerah (DPRD). Saat itu, pemilihan kepala daerah cukup dilakukan lewat pemilihan yang dilakukan anggota Dewan.
Sang calon dengan cerdiknya “membayar” suara anggota Dewan. Baginya cukup dengan separuh lebih satu suara dari jumlah anggota Dewan, maka dirinya otomatis terpilih menjadi bupati.
Kisah di atas bukan fiktif atau imajinasi penulis. Praktik seperti itu juga terjadi di daerah-daerah lain saat pemilihan kepala daerah masih belum menggunakan sistem pemilihan langsung.
Hari-hari ini, sistem Pilkada secara langsung tengah heboh usai Presiden Prabowo Subianto melontarkan wacana Pilkada langsung dikembalikan saja ke sistem Pilkada melalui DPRD.
Ketua Umum Partai Gerindra itu mengusulkan wacara tersebut dalam pidatonya saat puncak Perayaan HUT ke-60 Golkar di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Jawa Barat, pada Kamis, 12 Desember 2024.
Prabowo menyarankan agar tugas memilih gubernur hingga bupati diserahkan kepada DPRD saja mengingat sistem tersebut lebih efisien dan dapat mengurangi biaya.
Komparasi Prabowo ada pada negara-negara tetangga seperti Malaysia dan India yang memilih kepala daerah melalui parlemen.
Seperti siul bersambut siul – apalagi ini disiulkan presiden – maka serempak pula para elite partai Koalisi Indonesia Maju “mengaminkan” wacana yang dilemparkan Prabowo. Mereka semua seakan mengalamai amnesia sejarah secara massal.
Kisah yang saya nukilkan di awal tulisan ini saya dapat dari cerita Menteri Hukum dan Perundang-undangan di era Presiden Abdurahman, Yuhzril Iza Mahendra saat saya masih aktif bekerja sebagai jurnalis di tahun 2001.
Bersama jurnalis-jurnalis desk hukum, saya mendengarkan paparan Yusril soal kementeriannya.
Yusril menyebut kepala daerah yang menang di salah satu daerah di Sulawesi Selatan telah di profiling sebagai karyawan kementeriannya yang paling “tajir-melintir” karena posisi jabatannya di pengadilan negeri.
Hingga tidak heran sang calon akhirnya mampu “membeli” suara anggota Dewan dan akhirnya terpilih menjadi bupati.
Saya jadi teringat dengan kisah sang pejabat ini yang akhirnya berakhir di balik jeruji besi karena terlibat kasus rasuah dengan menggarong aset daerahnya.
Alih-alih memperkuat demokrasi, memindahkan sistem langsung menjadi pemilihan kepala daerah melalui DPRD sama saja memundurkan arus demokratisasi yang diperjuangkan saat Reformasi dulu.
Gerakan Reformasi terjadi akibat krisis ekonomi, politik, hukum, keamanan, sosial-budaya, dan krisis kepercayaan. Dari permasalahan yang mengakibatkan penderitaan rakyat tersebut muncul gerakan Reformasi pada 1998 yang diprakarsai oleh mahasiswa.