DIAH Permata Megawati Setiawati Soekarnoputri atau dikenal dengan Megawati Soekarnoputri hari ini tepat berusia 78 tahun.
Seorang tokoh politik yang masyur namanya tidak hanya di Indonesia, tapi dunia. Bahkan tidak berlebihan menyebutkan bahwa tidak ada perempuan yang lebih berpengaruh dalam politik nasional daripada Megawati sejak Indonesia merdeka pada 17 agustus 1945.
Ia adalah Ketua Umum PDI Perjuangan, partai politik terbesar di Indonesia pasca-Reformasi dan memegang mandat pucuk pimpinan tertinggi partai sejak tahun 1993 hingga saat ini.
Di Parlemen, Megawati dua kali terpilih menjadi anggota DPR RI, yaitu Pemilu 1987 dan 1992.
Pun kariernya di pemerintahan tak kalah mentereng, Megawati pernah menduduki jabatan Wakil Presiden RI (1999-2001) dan Presiden RI (2001-2004) sekaligus menempatkan dirinya sebagai satu-satunya perempuan Indonesia yang berhasil menduduki posisi nomor satu dan nomor dua dalam jabatan publik di Indonesia.
Sekilas segala hal terkait Megawati terlihat sangat sederhana dengan capain-capaian politik yang ia raih dengan statusnya sebagai putri Sang Proklamator.
Namun, sesungguhnya bila kita membaca utuh seluruh perjalanan hidup Megawati yang penuh lika-liku, kita akan menyaksikan keteguhan seorang perempuan politik yang berjuang tanpa pernah mengenal kata menyerah.
Megawati lahir pada 23 Januari 1947, ketika ayahnya Sukarno sedang bersiap diri untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan dari Agresi Militer Belanda II yang ingin kembali ke Indonesia.
Kelahiran Megawati ditandai dengan hujan badai. Bertepatan kala itu seorang pejuang kemerdekaan Negara India bernama Biju Patnaik sedang berada Ibu Kota Negara Indonesia, Yogyakarta.
Ada pun tujuan Biju Patnaik yang merupakan seorang pilot datang ke Indonesia adalah sebagai utusan dan orang kepercayaan dari Jawaharlal Nehru (selanjutnya menjadi Perdana Menteri India) untuk mengantarkan obat-obatan bagi para pejuang Indonesia sekaligus menyampaikan permohonan maaf tidak bisa membantu persenjataan karena negara mereka India belum merdeka.
Di tengah diskusi di ruang tamu Istana Negara di Yogyakarta dan atas dasar kebesaran hati India mendukung kemerdekaan Indonesia, Sukarno terpikir untuk meminta Biju Patnaik menyelipkan satu kata untuk nama putrinya yang baru lahir.
Biju Patnaik pun dengan senang hati menuruti permintaan Sukarno kemudian memberikan nama bayi kecil itu “Megawati” yang berarti dewi awan.
Kehidupan Megawati tidak pernah mudah. Tepat ketika ayahnya lengser dari jabatannya sebagai Presiden RI, status sebagai anak Sukarno seolah menjadi beban baginya dan keluarga besar.
Megawati harus keluar dari kampusnya di Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran tahun 1967, karena mendapatkan intimidasi sosial dan kecurigaan dari rezim Orde Baru.
Pun ketika ayahnya Sukarno meninggal dunia pada 21 Juni 1970. Megawati sempat kuliah di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, tapi ia hanya bertahan 4 (empat) semester sebelum kembali keluar dari kampus karena mendapatkan banyak serangan verbal dari birokrasi dan militer.
Masih pada waktu yang berdekatan di tahun 1970, Megawati harus menerima kenyataan pahit ketika suaminya bernama Surindro Suprijarso yang berprofesi sebagai pilot meninggal dunia karena kecelakaan pesawat di perairan Biak, Papua.
Kala itu Megawati sedang hamil besar anak keduanya dengan Surindro, yaitu Prananda Prabowo. Anak pertama Megawati bernama Mohammad Rizki Pratama.
Satu tahun setelah suaminya meninggal, tahun 1971, Megawati dikenalkan pada seorang laki-laki yang juga teman kakak sulungnya Guntur Soekarnoputra.
Nama laki-laki itu adalah Taufik Kiemas. Kala itu Taufik Kiemas kebetulan baru saja menjiaraihi makam Sukarno di Blitar, Jawa Timur.
Taufik Kiemas yang juga seorang mantan aktivis GMNI dan Sukarnois akhirnya mengunjungi rumah Megawati di Madiun, Jawa Timur. Perkenalan keduanya terjadi dan berlanjut sampai jenjang pernikahan yang dilangsungkan pada 1973.
Pun bagi Megawati, sosok Taufik Kiemas bukan sekadar suami, tapi menurut pengakuannya lebih kepada sparing partner (kawan tanding) dalam setiap diskusi politik.
Selanjutnya dari pernikahan Megawati dan Taufik Kiemas lahirlah Puan Maharani yang saat ini menjadi Ketua DPR RI.
Tahun 1986 adalah masa krusial bagi karier politik Megawati. Kala itu partai yang didirikan ayahnya, Sukarno, yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI) sudah 13 tahun tidak eksis di politik karena sejak tahun 1973 telah difusikan bersama IPKI, Partai Katolik, Parkindo dan Murba menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Juga waktu itu ada anggapan PDI adalah buatan rezim Orde Baru yang mengakibatkan keluarga Sukarno enggan masuk politik.
Namun, melihat fakta arus bawah pengikut Sukarno banyak masuk ke PDI serta penggembosan suara PDI terjadi disetiap pemilu menjadi pertimbangan Megawati akhirnya memutuskan bergabung ke PDI.
Apalagi perolehan kursi PDI dari dua pemilu terakhir mengalami penurunan, yaitu 29 kursi DPR RI di Pemilu 1977 dan 24 kursi DPR RI di Pemilu 1982 menjadi alasan penguat Megawati dalam memilih PDI.
Tepat satu tahun sebelum Pemilu 1987, Megawati akhirnya resmi memegang Kartu Tanda Anggota (KTA) PDI. Ia kemudian dipercaya menjadi pengurus DPD PDI DKI Jakarta sekaligus menjadi juru kampanye nasional partai dengan blusukan ke banyak daerah di Indonesia.
Dampak kehadiran Megawati di tubuh partai sangat signifikan. Kursi PDI mengalami peningkatan drastis di Pemilu 1987 menjadi 40 kursi sekaligus menjadikannya salah satu anggota DPR RI.
Selama lima tahun menjadi anggota DPR, Ia banyak bepergian ke daerah menemui konstituen partai. Megawati menggelorakan semangat Sukarnoisme untuk melawan agenda de-Surkanoisasi rezim Orde Baru yang mencoba mengalienasi nama ayahnya dari ingatan politik bangsa Indonesia.