"Saya tidak bangga Indonesia dicap sebagai salah satu negara paling korup di dunia. Saya mendukung hukuman mati bagi koruptor."
PERNYATAAN ini berasal dari cuitan akun X/Twitter Presiden Prabowo Subianto sebelum menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Mencerminkan komitmennya yang sudah ada sejak beberapa tahun lalu, untuk memberikan hukuman berat kepada para pelaku korupsi.
Prabowo dalam cuitan di akun X/Twitter pribadinya pada 3 Oktober 2011, secara tegas menyuarakan dukungannya terhadap penerapan hukuman mati bagi koruptor.
Bahkan baru-baru ini, Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya, mengungkapkan bahwa Presiden Prabowo merasa geram karena masih ada orang yang berani mencuri uang rakyat.
Dalam acara taklimat dan buka puasa bersama Kabinet Merah Putih di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta pada 4 Maret 2025, Prabowo menegaskan komitmennya untuk memberantas korupsi dan mendorong agar pelaku korupsi dihukum dengan tegas.
Baca juga: Kepercayaan Publik di Ujung Tanduk: Danantara, Korupsi, dan Ironi Reformasi
Bima Arya menjelaskan bahwa Prabowo merasa geram terhadap individu-individu yang terus melakukan pencurian meskipun telah diberikan peringatan, serta menekankan bahwa uang yang dicuri seharusnya digunakan untuk program-program kesejahteraan rakyat, seperti penyediaan makanan bergizi gratis.
Teranyar, terungkap kasus dugaan korupsi di Pertamina Patra Niaga. Kasus ini menjadi sorotan utama karena kerugiannya yang diperkirakan mencapai ratusan triliun rupiah, bahkan bisa mencapai angka fantastis hingga 1.000 triliun.
Situasi ini menjadikan korupsi di Pertamina sebagai salah satu skandal rasuah terbesar di Indonesia, mencatatkan diri sebagai "juara" dalam klasemen Liga korupsi di Tanah Air.
Fenomena ini menggugah perhatian publik dan menyoroti perlunya tindakan tegas terhadap praktik korupsi yang merugikan negara.
Terkait kasus di Pertamina, Kejaksaan Agung mengungkapkan bahwa kerugian keuangan negara akibat dugaan korupsi dalam pengelolaan minyak mentah PT Pertamina antara tahun 2018-2023 mencapai sekitar Rp 193,7 triliun. Namun, angka ini hanya mencakup perhitungan untuk satu tahun, yaitu 2023.
Saat ini, sembilan orang telah ditetapkan sebagai tersangka, yang terdiri dari individu-individu dari Pertamina dan pihak swasta.
Kerugian sebesar Rp 193,7 triliun ini merupakan hasil dari serangkaian tindakan yang diduga melanggar hukum, termasuk kerugian dari ekspor minyak mentah dalam negeri sekitar Rp 35 triliun, kerugian dari impor melalui broker sebesar Rp 2,7 triliun, serta kerugian dari kompensasi dan subsidi yang masing-masing mencapai Rp 126 triliun dan Rp 21 triliun.
Penyidik Kejaksaan Agung menargetkan periode investigasi selama lima tahun, dari 2018 hingga 2023.
Dengan demikian, ada kemungkinan bahwa total kerugian yang sebenarnya bisa mencapai lima kali lipat dari angka yang disebutkan, berpotensi mencapai Rp 1.000 triliun.
Baca juga: Skandal Mega Korupsi Beruntun: Rp 271 Triliun Belum Usai, Muncul Rp 193,7 Triliun
Dengan meningkatnya jumlah kasus korupsi yang tidak kunjung ada kata akhirnya dan kerugian negara yang mencapai angka fantastis, ada urgensi mempertimbangkan penerapan hukuman mati bagi para pelaku korupsi serta perampasan seluruh asetnya dengan pemiskinan.