REVISI undang-undang dalam suatu negara bukan barang haram. Bahkan, dalam kondisi tertentu, revisi undang-undang wajib dilakukan.
Revisi undang-undang merupakan proses lazim dan normal dalam sistem ketatanegaraan. Namun, revisi undang-undang harus dilakukan berdasarkan pertimbangan tata negara yang bersifat fundamental.
Revisi suatu undang-undang tidak sepatutnya dilakukan semata-mata untuk mewadahi kepentingan di luar tujuan utama bernegara, agar terhindar dari “vandalisme konstitusional.”
Vandalisme konstitusional adalah praktik revisi undang-undang yang sah, tapi merusak “properti demokrasi” karena dilakukan demi kepentingan terbatas, bukan kepentingan negara jangka panjang.
Vandalisme konstitusional memang tampak rapi, karena dikemas dalam prosedur legislasi legal, tetapi penuh jebakan. Revisi dilakukan dengan mengganti atau menambah pasal-pasal penting demi kepentingan sementara.
Baca juga: RUU TNI: Demokrasi Terkunci di Barak
Negara yang para elitenya sering melakukan vandalisme konstitusional cenderung mengalami krisis berkepanjangan.
Banyak negara yang terperosok dalam instabilitas akibat perubahan aturan yang tidak berlandaskan pada kepentingan rakyatnya.
Sekadar contoh, bisa kita sebut Zimbabwe dan Venezuela, dua negara yang tidak pernah stabil akibat para elitenya “doyan” melakukan vandalisme konstitusional.
Negara yang terus-menerus mengutak-atik peraturan hanya demi kepentingan jangka pendek hakikatnya sedang menanam bom waktu.
Kepercayaan publik akan menuju pada keruntuhan, hukum akan kehilangan daya ikatnya, dan sistem politik hanya akan menjadi arena pertempuran kepentingan pribadi atau kelompok.
Mencegah vandalisme konstitusional memerlukan langkah ekstra yang tidak hanya berfokus pada prosedur hukum, tetapi juga menyadarkan nurani dan integritas para aktor politik.
Para aktor politik agar memahami kembali dasar dan pertimbangan fundamental revisi undang-undang.
Pertimbangan fundamental yang harus diacu oleh para aktor politik adalah bahwa setiap upaya mengubah undang-undang harus didasarkan pada kepentingan nasional yang jelas, bukan sebagai sarana menggelar “karpet merah” kekuasaan atau jabatan bagi pihak atau individu tertentu.
Revisi undang-undang harus berpijak pada asas kehati-hatian konstitusional, yaitu setiap revisi undang-undang berpijak kokoh pada pertimbangan fundamental legislasi.
Baca juga: Revisi UU TNI dan Relasi Sipil-Militer
Secara teori, minimalnya ada enam pertimbangan fundamental ketika kita akan merevisi sebuah undang-undang.