RANGKAP jabatan pejabat sepertinya sedang menggejala. Publik berharap praktik ini dihentikan dan tidak menjadi budaya di masa depan.
Rangkap jabatan dilakukan menteri dan wakil menteri, pejabat eselon I (dirjen, deputi, sekjen, irjen, staf ahli, staf khusus, kepala badan), dan pejabat BUMN (komisaris, direksi, managing director, dan lain-lain) pada jabatan lain di pemerintahan, perusahaan negara, maupun organisasi usaha.
Pada BPI Danantara, misalnya, dewan pengawas dan chief executive officer (CEO) dijabat oleh para menteri, chief operating officer (COO) dan tujuh jabatan managing director dijabat oleh pejabat eselon I dan pejabat BUMN.
Jabatan managing director Danantara yang lain juga dirangkap oleh pejabat perusahaan swasta.
Baca juga: Kontroversi Pengurus Danantara: Thaksin Shinawatra hingga Rangkap Jabatan
Pada BUMN, banyak sekali jabatan dewan komisaris yang dijabat oleh pejabat eselon I, bahkan eselon II pada kementerian/lembaga.
Dalam banyak laman berita yang beredar, 39 pejabat Kementerian Keuangan, mulai dari wakil menteri, direktur jenderal, hingga direktur/kepala biro (Eselon II) merangkap jabatan sebagai komisaris di BUMN.
Bahkan berita terakhir menyebutkan Dirjen Pajak Suryo Utomo merangkap dalam tiga jabatan sekaligus, yaitu Dirjen Pajak, Komisaris di PT Bank Tabungan Negara (Persero), dan Komisaris di PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero).
Kementerian/lembaga lain selain Kementerian Keuangan juga menempatkan pejabatnya di banyak BUMN.
Indonesia Corruption Watch (ICW) (2023) menemukan, dari total 263 komisaris atau dewan pengawas, ada 117 orang komisaris atau dewan pengawas di BUMN yang merupakan pejabat kementerian/lembaga.
ICW juga menemukan sebanyak 20 orang komisaris atau dewan pengawas merangkap di perusahaan swasta.
Lebih lanjut, ICW menemukan terdapat 5 orang pejabat kementerian/lembaga yang menjadi pejabat di perusahaan swasta.
Data ICW yang ditemukan di laman berita (antikorupsi.org) adalah data tahun 2023. Data terkini dapat berubah.
Rangkap jabatan pejabat sekurangnya melanggar empat undang-undang. Pertama, melanggar UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Pasal 5 angka 4 menyatakan, “Setiap Penyelenggara Negara berkewajiban untuk tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme”.
Dalam Pasal 1 angka 5 dijelaskan, nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.
Baca juga: THR Kepala Desa: Premanisme Berkedok Pemerintahan