"JUSTICE is truth in action," kata Joseph Joubert, filsuf Perancis dari abad ke-18 (Joubert, 1795). Namun di negeri ini, kebenaran seakan tak selalu berada di ruang sidang, melainkan di lemari besi. Ia bisa disimpan, dinegosiasikan, atau dibeli.
Rp 22,5 miliar. Itulah harga yang diduga dibayarkan agar tiga korporasi raksasa eksportir crude palm oil (CPO) dinyatakan onslag, lepas dari jerat hukum.
Suap ini, menurut Kejaksaan Agung, mengalir melalui Ketua PN Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta kepada tiga hakim: Agam Syarif Baharuddin, Ali Muhtarom, dan Djuyamto (Kompas.com, 14 April 2025).
Mereka tak sendirian. Sebelumnya, di Surabaya, tiga hakim lain, yaitu Erintuah Damanik, Mangapul, dan Hari Hanindyo, tertangkap basah karena uang suap sebesar Rp 20 miliar dalam kasus Ronald Tannur.
Bahkan Mahkamah Agung pun tidak sakral: Sekretaris MA Hasbi Hasan, disebut-sebut menerima bagian dari Rp 11,2 miliar untuk mengatur vonis kasus KSP Intidana.
Nurhadi, mantan Sekretaris MA lainnya, malah sudah lebih dulu dipenjara karena suap dan gratifikasi senilai lebih dari Rp 49,5 miliar (Kompas.com, 14 April 2025).
Apa yang tersisa dari pengadilan, jika keadilan bisa dikalkulasi dalam kurs rupiah?
Baca juga: Dari Majelis Hakim ke Majelis Tersangka
Di negeri ini, ruang sidang bukan selalu arena pertarungan dalil, tapi juga ladang transaksi. Vonis menjadi komoditas. Ia punya nilai tukar. Dan tak jarang, justru nilai inilah yang menentukan siapa yang bebas dan siapa yang dibelenggu.
Menurut Global Corruption Barometer Transparency International (2023), sekitar 36 persen warga Indonesia percaya bahwa sebagian besar atau seluruh hakim dan aparat pengadilan terlibat korupsi.
Di Amerika Serikat, angkanya hanya 15 persen. Di Jerman bahkan di bawah 10 persen.
Di Indonesia, angka ini tak hanya menjadi statistik. Ia juga menjadi cermin retak tempat kita bercermin sebagai bangsa yang gagal membangun benteng terakhir keadilan.
Ketika vonis bisa dinegosiasikan, maka penjara bukan lagi tempat bagi mereka yang bersalah, melainkan tempat mereka yang tak sanggup membayar.
Sistem peradilan seharusnya menjadi satu dari tiga pilar kekuasaan negara (trias politica, Montesquieu, 1748): Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif.
Di negeri yang rawan suap, pilar itu lebih mirip menara Pisa: miring, dan terus condong ke arah yang mampu menanam uang lebih dalam.