PADA 18–24 April 2025, dunia semestinya memperingati 70 tahun Konferensi Asia-Afrika (KAA), salah satu peristiwa paling monumental dalam sejarah hubungan internasional abad ke-20.
Diselenggarakan di Bandung pada tahun 1955, KAA berhasil mempertemukan 29 negara dari dua benua – yang kala itu baru saja merdeka atau sedang memperjuangkan kemerdekaannya – untuk bersama-sama merumuskan prinsip-prinsip dasar hubungan internasional yang berkeadilan dan setara.
Namun ironisnya, memasuki usia tujuh dekade, peringatan KAA ke-70 berlangsung dalam senyap. Tanpa gaung yang berarti, tanpa agenda besar kenegaraan yang melibatkan negara-negara Asia dan Afrika, dan tanpa diplomasi tingkat tinggi yang bisa mencerminkan semangat zaman sebagaimana dahulu Indonesia tampil sebagai pemimpin dunia ketiga.
Panggung diplomasi ini telah disia-siakan. Padahal Indonesia tengah membutuhkan legitimasi moral dan politik global untuk menghadapi tantangan internasional yang semakin kompleks.
Konferensi Asia-Afrika 1955 bukan sekadar forum multilateral biasa. Ia merupakan simbol emansipasi kolektif negara-negara yang baru merdeka dari kolonialisme dan imperialisme.
Dari pertemuan ini, lahir apa yang dikenal sebagai Dasasila Bandung, sepuluh prinsip yang menekankan pada penghormatan terhadap kedaulatan, tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain, penyelesaian sengketa secara damai, serta penolakan terhadap penggunaan kekuatan militer dalam hubungan internasional.
Baca juga: Potret Buram Ketenagakerjaan yang Terus Berulang
Dasasila Bandung menjadi inspirasi utama bagi pembentukan Gerakan Non-Blok (GNB) tahun 1961 dan memperkuat solidaritas Selatan-Selatan (South-South Cooperation) yang hingga kini masih menjadi bagian penting dari diplomasi pembangunan global.
Dalam laporan United Nations Office for South-South Cooperation (UNOSSC) tahun 2022, disebutkan bahwa volume kerja sama teknis dan pembangunan di antara negara-negara selatan mencapai lebih dari 20 miliar dollar AS per tahun, dengan partisipasi lebih dari 100 negara.
Artinya, semangat yang dilahirkan dari Bandung masih hidup dalam wujud-wujud kerja sama nyata, meski sayangnya Indonesia mulai kehilangan arah dalam memeliharanya.
Dunia saat ini sedang mengalami fragmentasi yang dalam. Menurut World Economic Forum (WEF) 2024, lebih dari 70 persen populasi dunia hidup dalam negara-negara yang terpengaruh konflik geopolitik atau ketegangan geoekonomi.
Perang di Ukraina, ekspansi militer China di Laut Cina Selatan, krisis kemanusiaan di Gaza, dan perlombaan senjata nuklir baru antara Amerika Serikat dan blok Sino-Rusia menunjukkan bahwa sistem internasional pasca-Perang Dingin telah runtuh, tetapi belum tergantikan oleh tatanan yang baru dan stabil.
Gejala pembalikan arah globalisasi yang mulai terasa sejak era pemerintahan Donald Trump kini mencapai titik krusial.
Pada 2 April 2025, Presiden Trump mengumumkan kebijakan tarif baru yang dikenal sebagai "Liberation Day Tariffs," yang menetapkan tarif dasar sebesar 10 persen untuk semua impor, efektif mulai 5 April 2025.
Selain itu, tarif tambahan diberlakukan terhadap sekitar 60 negara, termasuk Indonesia, dengan tarif sebesar 32 persen yang dijadwalkan mulai berlaku pada 9 April 2025.
Indonesia, dengan surplus perdagangan terhadap AS sebesar 13,55 miliar dollar AS pada Oktober 2024, menjadi salah satu negara yang terkena dampak signifikan dari kebijakan ini.