SEPERTINYA, kita perlu mempertimbangkan hasil sejumlah penelitian yang menunjukkan bahwa pemekaran daerah selama ini tidak (belum) benar-benar memperkuat otonomi daerah.
Pemekaran hanya menambah jumlah kabupaten baru, tetapi tidak banyak membantu meningkatkan ekonomi masyarakat.
Pemekaran daerah yang telah kita lakukan selama ini, umumnya hanya menghasilkan urbanisme administratif, yaitu kota dadakan yang diciptakan oleh “pena pejabat”, bukan oleh proses urbanisasi.
Artinya, suatu daerah ditetapkan sebagai kota hanya karena keputusan administratif dari pemerintah, bukan karena daerah itu benar-benar sudah tumbuh dengan aktivitas ekonomi, sosial, budaya, dan infrastruktur yang matang.
Lahirnya kota dadakan sering kali menandakan gejala “locality fever”, yaitu demam kedaerahan yang membuat sejumlah masyarakat memperjuangkan status administratif demi pengakuan eksistensial, tapi kehilangan fondasi kapasitas.
Pemekaran daerah yang kehilangan fondasi kapasitas menunjukkan paradoks demokrasi. Lahiriahnya gagasan dan aspirasi otonomi, tetapi batinnya ruang kosong tanpa pelayanan dasar yang memadai.
Baca juga: Menolak Usulan Pemekaran Wilayah
Beberapa daerah otonom baru tidak benar-benar mandiri secara fiskal, dan umumnya masih tetap “menjadi pengemis anggaran” dari pusat.
Muncul pertanyaan, apakah sebaiknya justru kita harus melakukan hal sebaliknya dari pemekaran, yaitu konsolidasi kewilayahan.
Kita berupaya menggabungkan desa-desa atau kecamatan-kecamatan, termasuk kabupaten/kota kecil agar memiliki kapasitas administratif yang lebih kuat dan pelayanan publik lebih efisien.
Kita bangun struktur kolaboratif regional agar kabupaten/kota kecil—yang sulit bersaing dalam menarik investasi, membangun infrastruktur besar, atau mengembangkan SDM—lebih berkapasitas.
Konsolidasi kewilayahan berfungsi juga untuk menghindari fragmentasi, karena hal lumrah isu pemekaran dijadikan “waralaba kekuasaan” oleh para aktor politik.
Dasar pemekaran daerah sangat sering digerakkan bukan oleh kebutuhan administratif, pertimbangan fiskal, dan logika pembangunan.
Ia justru digerakkan oleh romantisme sejarah atau nostalgia masa lalu. Bahkan tidak jarang oleh keinginan membangkitkan identitas lama yang telah masuk “tiang gantungan sejarah”.
Romantisme sejarah adalah argumen paling tidak masuk akal dalam logika tata negara. Para elite lokal menjual khayalan bahwa membangkitkan identitas tata negara masa lalu—entah itu kerajaan, keresidenan, atau lainnya—akan memicu kebanggaan kolektif, mengundang investasi, membuka lapangan kerja, dan menyejahterakan rakyat.
Maka lahirlah sejumlah kabupaten baru dengan simbol tata negara masa lalu, tetapi dengan kondisi jalan berlubang, RSUD dengan layanan morat-marit, gedung-gedung pemerintahan hasil nyewa, dan APBD yang habis hanya untuk gaji pegawai.