MENYAMPAIKAN kritik yang sah merupakan fondasi demokrasi. Namun, di era digital, batas antara kritik dan pencemaran nama baik acapkali kabur.
Belakangan, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan pada perkara pengujian undang-undang yang menyoroti Pasal 27A dan Pasal 45 ayat (4) serta Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
MK melalui Putusan No. 105/PUU-XXII/2024 tertanggal 29 April 2025, menegaskan bahwa frasa “orang lain” dalam Pasal 27A dan Pasal 45 ayat (4) UU ITE hanya merujuk pada individu atau perseorangan, alih-alih menunjuk institusi Pemerintah dan sekelompok orang dengan identitas spesifik atau tertentu seperti: institusi, korporasi, profesi atau jabatan.
Artinya, hanya orang pribadi atau individu yang dapat mengajukan pelaporan atas dugaan pencemaran nama baik secara digital.
Langkah ini menjadi penyeimbang antara perlindungan nama baik dengan kebebasan berpendapat di ruang digital yang semakin kompleks dan luas.
Implikasi hukum dari putusan ini tidak dapat disepelekan. Dalam episentrum teori perlindungan hukum, kejelasan norma pidana adalah prasyarat mutlak untuk melindungi hak-hak asasi warga (Hadjon, 1987).
Baca juga: Putusan MK atas UU ITE: Oase di Padang Gersang Kebebasan Berekspresi
Tidak heran bila Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menjamin setiap orang atas perlindungan hukum yang adil dan berkepastian hukum.
Putusan MK ini tak ayal menunjukkan keberpihakan pada prinsip tersebut dengan menolak ‘penafsiran karet’ yang selama ini menjadi celah kriminalisasi.
Selain mempertegas subjek hukum yang dapat menjadi korban pencemaran nama baik, MK juga menafsirkan ulang frasa “suatu hal” dalam Pasal 27A dan Pasal 45 ayat (4) UU ITE yang dianggap terlalu kabur.
MK menegaskan bahwa frasa “suatu hal” dalam norma tersebut harus dimaknai secara terbatas, yaitu: perbuatan yang merendahkan kehormatan atau nama baik seseorang.
Berdasarkan teori penafsiran konstitusi, penekanannya ialah: pembatasan terhadap kebebasan berekspresi harus dilakukan secara ketat dan proporsional.
Sebagaimana dijelaskan oleh Saldi Isra (2019), dalam sistem hukum yang demokratis, penafsiran konstitusi berfungsi bukan sekadar menjabarkan norma, melainkan menjaga agar hak-hak fundamental tidak dikebiri atas nama kepentingan umum yang kabur.
Putusan MK ini merefleksikan fungsi itu dengan mencegah perluasan makna hukum pidana secara berlebihan atau ‘over dosis’.
Putusan MK turut mempertegas pentingnya keberadaan unsur “tanpa hak” dalam Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE, yang kerap digunakan untuk mempidanakan seseorang yang diklaim menyebarkan kebencian.
Baca juga: Akhir dari Outsourcing? Menimbang Ulang Kepentingan Investor dan Buruh
Dalam konteks ini, MK menekankan bahwa profesi seperti wartawan, akademisi, atau advokat harus tetap mendapat ruang untuk menjalankan fungsinya selama tidak melampaui batas konstitusional.