KEBERADAAN organisasi masyarakat (ormas) di Indonesia, yang diamanatkan oleh UUD NRI 1945, sejatinya merupakan wujud dari kebebasan berorganisasi yang dilindungi sebagai hak asasi manusia.
Pasal 28E UUD NRI 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Salah satu cara untuk merealisasikan hak ini adalah melalui pembentukan ormas.
Namun, belakangan, muncul fenomena yang meresahkan terkait dengan ormas yang tidak hanya menyuarakan aspirasi atau kepentingan masyarakat, tetapi juga terlibat dalam tindakan kekerasan, intimidasi, bahkan premanisme.
Ormas-ormas ini, meskipun mengatasnamakan perjuangan sosial atau kepentingan bersama, pada kenyataannya lebih sering memperlihatkan perilaku yang merugikan masyarakat, dengan modus yang serupa dengan premanisme, yakni pemerasan dan intimidasi terhadap individu atau kelompok lain, bahkan perusahaan.
Fenomena ormas yang berpakaian seragam rapi, tetapi bertindak selayaknya preman ini menjadi semakin meresahkan.
Mereka sering kali tampil sebagai ‘penjaga ketertiban’, tetapi yang terjadi justru aksi kekerasan dan intimidasi terhadap masyarakat dan korporasi yang tidak sejalan dengan kepentingan mereka.
Baca juga: Premanisme Bersenjata di Kemang: Krisis Keamanan Ruang Publik
Hal ini tentu sangat mengganggu tatanan sosial yang seharusnya dijaga oleh negara. Dalam konteks ini, perlu adanya upaya yang lebih tegas dari negara untuk menangani fenomena ini.
Namun, tindakan tegas tersebut harus dilakukan dengan pendekatan humanis, dengan tetap menjaga nilai-nilai HAM bagi setiap individu, termasuk anggota ormas itu sendiri.
Tindakan tegas yang dimaksud tidak berarti mengabaikan prinsip-prinsip dasar HAM. Negara—dalam hal ini—memiliki kewajiban untuk memberikan pelindungan terhadap hak-hak individu, termasuk hak untuk bebas dari ancaman dan kekerasan, sebagaimana diatur dalam Pasal 28G ayat (1) UUD NRI 1945.
Penindakan terhadap ormas yang melakukan pelanggaran harus dilakukan dengan prosedur hukum yang adil, tanpa menggunakan cara-cara yang melanggar hak dasar mereka sebagai warga negara.
Dalam hal ini, penting untuk menegakkan prinsip keadilan restoratif yang mengedepankan perbaikan dan reintegrasi sosial, bukan sekadar penghukuman.
Proses hukum harus memastikan bahwa setiap individu, baik anggota ormas maupun masyarakat, mendapatkan perlindungan yang sama di depan hukum tanpa ada diskriminasi.
Negara pun harus mempertimbangkan dampak sosial dari setiap tindakan terhadap ormas tersebut.
Ormas yang terjerumus dalam kekerasan atau tindakan premanisme seharusnya diberikan kesempatan untuk melakukan reformasi internal dan kembali menjadi bagian dari masyarakat yang produktif.
Negara melalui aparat penegak hukum harus fokus pada tindakan preventif dengan mengedukasi ormas-ormas tersebut tentang pentingnya menjalankan organisasi sesuai dengan hukum dan norma yang berlaku, sekaligus memberikan sanksi yang sesuai bagi mereka yang melanggar.