VIRAL di media sosial video yang memperlihatkan aksi penyegelan pabrik milik PT Bumi Asri Pasaman (BAP) oleh organisasi masyarakat (Ormas) Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) Jaya Kalimantan Tengah.
Kejadian ini berlangsung di Barito Selatan, Kalimantan Tengah, pada Sabtu, 26 April 2025. Dalam video tersebut, terpampang spanduk besar bertuliskan: "Pabrik dan gudang ini dihentikan operasionalnya oleh DPD GRIB Jaya Kalteng."
Kalimat ini bukan sekadar pernyataan biasa. Jika kita bedah secara yuridis, frasa “dihentikan operasionalnya” menyiratkan klaim kewenangan resmi dan berdasarkan pada undang-undang, serta seolah-seolah sedang menjalankan fungsi negara.
Artinya memperjelas bahwa Ormas ini sedang berlagak sebagai pemegang otoritas negara. Aksi ini merupakan alarm keras bagi demokrasi dan penegakan hukum di Indonesia.
Negara memiliki struktur kelembagaan yang jelas. Penegakan hukum, termasuk penghentian kegiatan usaha, hanya bisa dilakukan oleh instansi berwenang berdasarkan prosedur hukum, bukan oleh Ormas yang berlindung di balik kekuatan massa, oknum elite, atau klaim moral.
Bayangkan jika pengusaha atau UMKM di berbagai daerah harus menghadapi Ormas semacam ini, yang kapan saja bisa mendatangi pabrik, membawa spanduk, menyegel lokasi, dan menghentikan aktivitas ekonomi hanya dengan dasar persepsi atau kepentingan mereka.
Bukan hanya menciptakan ketidakpastian hukum, tetapi juga menyuburkan iklim investasi yang korosif dan berbahaya.
Baca juga: Ormas Rasa Preman: Perlunya Tindakan Tegas Negara yang Humanis
Investor akan berpikir dua kali sebelum menanamkan modalnya jika harus menghadapi Pseudo Aktor Politik yang bertindak semaunya tanpa kredibilitas.
Bagi bangsa Indonesia, Ormas memiliki peran fundamental sebagai kanal artikulasi kepentingan rakyat, pengorganisasi kesadaran kolektif, dan penggerak perubahan sosial.
Dalam rentang sejarah menuju kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, tak terbantahkan bahwa organisasi masyarakat menjadi penopang utama perjuangan melawan kolonialisme.
Merekalah yang membangkitkan semangat kebangsaan, menyatukan keragaman identitas, serta memperjuangkan nasib bangsa melalui strategi yang tak melulu mengangkat senjata, tetapi strategi pemberdayaan masyarakat lewat pendidikan, budaya agama, hingga penguatan moral kolektif.
Meski demikian, di era orde baru, kontrol negara atas Omas menjadi penghambat bagi pertumbuhan Ormas secara bebas.
Bahkan, negara secara ketat mengontrol ideologi Ormas sebagaimana negara mengatur partai politik. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Ormas, secara eksplisit menunjukkan dominasi yang sangat kuat dari negara atas Ormas.
Namun, seiring dengan runtuhnya Orde Baru pada 1998, gelombang reformasi membawa angin segar bagi kebebasan sipil. Larangan-larangan yang sebelumnya membelenggu kehidupan berorganisasi runtuh satu per satu.
Kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat yang dijamin dalam Konstitusi kembali mendapat ruang aktualisasi.
Ormas-ormas dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tumbuh menjamur, bak “jamur di musim hujan”.
Dari skala nasional hingga lokal, dari bidang lingkungan, pemberdayaan perempuan, antikorupsi, hingga keagamaan dan kebudayaan, semua berlomba-lomba mengisi ruang publik yang selama ini dimonopoli oleh negara.
Fenomena ini di satu sisi menunjukkan adanya kesadaran warga negara untuk terlibat dalam kehidupan sosial dan politik secara lebih aktif. Masyarakat menemukan kembali suaranya.
Namun di sisi lain, euforia kebebasan ini sering kali berujung pada kekacauan makna.
Baca juga: Premanisme Bersenjata di Kemang: Krisis Keamanan Ruang Publik