LEDAKAN dahsyat yang terjadi di Desa Sagara, Kecamatan Cibalong, Garut, Jawa Barat, pada Senin (12/5/2025), mengguncang kesadaran kita akan pentingnya tata kelola amunisi militer yang profesional, akuntabel, dan berorientasi pada keselamatan warga.
Peristiwa ini menewaskan 13 orang – empat orang di antaranya anggota TNI AD dan sembilan lainnya warga sipil.
Tragedi kemanusiaan yang tak hanya menyisakan duka mendalam, tetapi juga memunculkan pertanyaan besar: apakah standar prosedur operasi (SOP) pemusnahan amunisi di negeri ini sudah memadai?
Apakah negara benar-benar hadir menjamin keselamatan setiap warganya dalam aktivitas militer di masa damai?
Baca juga: 8 Hal tentang Ledakan Amunisi Kedaluwarsa di Garut Versi TNI
Menurut keterangan resmi dari Kepala Dinas Penerangan TNI AD, Brigjen Wahyu Yudhayana, kegiatan pemusnahan dilakukan oleh jajaran Gudang Pusat Amunisi (Gupusmu) III Peralatan TNI AD.
Pemusnahan dilakukan melalui peledakan di dua sumur, yang menurut laporan awal telah berjalan aman.
Namun, ledakan besar justru terjadi pada tahap selanjutnya, saat personel sedang menyusun sisa detonator untuk dihancurkan di lubang ketiga. Ledakan yang tidak direncanakan inilah menyebabkan jatuhnya korban jiwa.
Di sinilah letak persoalan fundamentalnya. Jika kita merujuk pada International Mine Action Standards (IMAS), standar internasional yang digunakan oleh badan-badan PBB dan militer negara-negara maju dalam menangani bahan peledak, kegiatan pemusnahan amunisi harus memperhatikan jarak aman minimal 500-1.000 meter dari permukiman sipil.
Selain itu, wajib diterapkan perimeter keamanan berlapis, prosedur remote detonation yang tidak melibatkan manusia secara langsung, dan pengawasan penuh terhadap potensi sisa ledakan sekunder.
Dalam prosedur ini, tragedi di Garut menunjukkan bahwa penerapan standar semacam ini masih jauh dari kata ideal.
Itu sebabnya, kritik terhadap prosedur dan manajemen lapangan tak bisa dihindari dalam tragedi ini. Bagaimana mungkin warga sipil bisa berada dekat lalu jadi korban dalam operasi pemusnahan bahan peledak?
Apakah perimeter pengamanan dibuka sebelum waktu yang tepat? Apakah ada pelanggaran prosedur atau kegagalan teknis yang tidak terdeteksi sejak awal?
Pertanyaan-pertanyaan ini hanya dapat dijawab melalui investigasi serius, terbuka, dan independen. Bukan oleh internal militer semata, tetapi dengan melibatkan Komnas HAM, DPR RI, dan para ahli keamanan sipil.
Baca juga: Sejarah Direvisi
Dari sisi hukum, tragedi ini dapat dikualifikasikan sebagai bentuk kelalaian serius. Pasal 359 KUHP menyatakan bahwa siapa pun yang karena kelalaiannya menyebabkan orang lain meninggal dunia, dapat dipidana.
Di luar itu, prinsip tanggung jawab negara (state responsibility) sebagaimana diatur dalam hukum humaniter internasional juga menegaskan kewajiban negara untuk mencegah jatuhnya korban sipil dalam setiap aktivitas militer, baik dalam masa perang maupun damai.