DI ERA yang kian riuh oleh gegap gempita media sosial, ada kerinduan yang kuat di masyarakat pada pemimpin yang bukan hanya memimpin, tetapi juga menghadirkan rasa terhibur.
Pemimpin semacam ini tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga harus memesona dalam kamera.
Masyarakat saat ini menginginkan pemimpin yang bisa membuat mereka tertawa. Mereka tidak sekadar ingin tahu apa yang telah dilakukan pemimpinnya, tetapi ingin tahu juga bagaimana ia melakukannya.
Masyarakat di era ini tidak bodoh, tapi mereka hanya bosan. Bosan dengan formalitas kosong. Bosan dengan janji-janji yang tak bernyawa. Mereka ingin pemimpin yang hadir seperti tokoh dalam dongeng, tapi tetap bekerja.
Masyarakat butuh pemimpin yang bisa menjelma dalam dua wujud, yaitu sosok biasa yang bisa tertawa bersama dan teknokrat yang mampu membuat keputusan untuk bangsa. Untuk hal ini seorang populis yang menghibur dan mampu mengatur akan sangat dielu-elukan.
Menghibur masyarakat bukan pengalihan, tetapi pendekatan cara memimpin. Masyarakat butuh pemimpin yang tahu bahwa mereka tak hanya ingin diselamatkan, tapi juga ingin merasa hidup dalam cerita yang layak dijadikan kenangan dan “dimedsoskan.”
Baca juga: APBD Jakarta dan Imajinasi Populis ala Dedi Mulyadi
Pemimpin penghibur seperti itu tak akan lahir dari kepura-puraan. Ia tumbuh dari pertemuan antara jiwa yang mengakar pada rakyat dan visi membuat sesuatu untuk mereka.
Ia tahu betul bahwa rasa terhibur yang tulus bukan berasal dari tingkah gimik, melainkan dari laku yang autentik.
Masyarakat ingin menonton seorang pemimpin berjalan menyusuri gang sempit, menyapa orang kecil dalam sorotan kamera.
Ingin juga mereka melihat pemimpinnya duduk di tengah sawah bercengkrama dengan petani, tapi malam harinya dia berdiskusi dengan cendekia untuk tata kelola.
Namun, jangan salah duga bahwa masyarakat bukan butuh penghibur yang meninabobokan, tetapi butuh yang membangunkan. Bukan pemimpin yang merangkul untuk memeluk diam, tetapi untuk menggerakkan.
Silakan sang penghibur bekerja dalam sorotan kamera. Biarkan rakyat melihat wajahnya, mendengar suaranya, menyaksikan tubuhnya hadir di tengah kerumunan.
Di zaman ini, sorotan kamera adalah jendela tempat rakyat mengintip siapa yang sedang mereka percayai. Kamera saat ini telah menjadi saksi baru dalam ritual kenegaraan kita.
Namun, jangan lupa bahwa pekerjaan itu bukan hanya apa yang ditampilkan ke masyarakat, tetapi apa yang dilakukannya saat mereka tak melihat. Ia boleh jadi memesona di layar kaca, tapi di luar bingkai itulah tangisan ibu miskin dan keluh buruh harian perhatikan.
Juga, tak boleh dilupakan juga bahwa di balik ingar bingar sorot kamera ada benang kusut birokrasi yang harus dibenahi di ruangan kantornya. Ada tumpukan berkas bantuan yang belum cair. Ada birokratnya yang lamban bekerja.