JIKA dahulu semangat kebangkitan diarahkan untuk melawan kolonialisme fisik, maka di masa kini, kebangkitan sejati seharusnya dimaknai sebagai keberanian untuk melawan banalitas politik uang, korupsi sistemik, putusan pengadilan yang diperjualbelikan, dan apatisme moral kepemimpinan.
Momentum 20 Mei tak sekadar menjadi nostalgia terhadap berdirinya Boedi Oetomo pada 1908. Lebih dari itu: menjadi refleksi kritis atas kondisi kebangsaan hari ini.
Pada dimensi itu, nasionalisme kontemporer telah bergeser dari perjuangan teritorial menuju perjuangan integritas hukum dan keadilan sosial (Ghoffar, 2020).
Boedi Oetomo didirikan oleh para intelektual bumi putera (pribumi) sebagai bentuk kesadaran kolektif untuk bangkit, bersatu, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Terkait itu, Benedict Anderson (1983) menjelaskan bahwa bangsa merupakan komunitas politik yang dibayangkan, yang mendasari kehidupan bernegara karena adanya kesamaan kesadaran.
Beriringan dengan itu, Soekarno menukilkan, “Nasionalisme yang sejati tidak akan hidup subur dalam tanah kolonialisme, imperialisme, atau kapitalisme.”
Baca juga: Indonesia Krisis Keteladanan, Aturan Dipinggirkan
Dengan demikian, secara hermeneutik, nasionalisme sejati ialah berpijak pada keadilan. Implikasinya, hukum merupakan salah satu medium untuk “membayangkan” bangsa atas dasar kesadaran dan menjelma dirinya sebagai instrumen membangun, menopang, dan bahkan menyuburkan keadilan sebagai identitas nasional.
Sebaliknya, kita justru tampak gamang menerka “posisi Boedi Oetomo” dalam lanskap hukum dewasa ini yang tidak menjadi panglima. Para pejabat publik justru menjadi contoh buruk dalam praktik kekuasaan.
Tidak heran jika krisis hukum yang demikian sebenarnya berakar dari kesadaran yang dipenetrasi oleh optik menang dan kalah berebut kekuasaan belaka.
Padahal, hukum bukan sekadar teks, tetapi “cermin dari keadaban masyarakat” (Rahardjo, 2000).
Jika penegakan hukum lumpuh, itu mencerminkan masyarakat yang kehilangan arah moral. Terbukti, sebagian elite politik menjadikan hukum sebagai komoditas transaksional.
Politik uang bukan hanya dibiarkan, tapi dilanggengkan secara sistemik. Ia bahkan dirayakan dalam kontestasi elektoral.
Pemimpin seharusnya menjadi panutan, bukan pelanggar hukum itu sendiri. Logika dasarnya sederhana: jika ia menormalisasi politik uang, maka ia sedang ‘meneladani’ masyarakat bahwa hak pilih layak diperjualbelikan.
Jika seorang pemimpin korup, maka ia sedang ‘mendidik’ rakyatnya untuk hidup dalam logika korupsi.
Dalam situasi seperti ini, nasionalisme kehilangan maknanya yang substantif. Nasionalisme hukum tercerabut dan sebatas diingat dalam literatur-literatur sejarah yang tidak terbaca.
Baca juga: Badut-badut Politik