PEMILU dan Pilkada serentak 2024 secara umum sudah usai. Namun, yang tersisa bukan hanya hasil, tapi juga pertanyaan besar: apakah sistem elektoral kita sudah cukup adil, efisien, dan ramah bagi semua warga negara?
Di tengah kompleksitas logistik, disinformasi, dan kecurangan, e-Voting kembali mencuat sebagai harapan—atau mungkin sekadar wacana lama yang terus tertahan.
Serangkaian persoalan mendasar nyatanya masih kembali mengulang luka: beban kerja petugas yang kurang manusiawi, praktik politik uang yang meluas, serta kompleksitas sistem manual yang mahal dan rawan.
Pemungutan suara ulang alih-alih jadi momentum perombakan justru jadi pembalikan. Dari situ, demokrasi elektoral kian (membuat) lelah, tapi tidak semakin bermakna.
Data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan bahwa penyelenggara ad hoc di berbagai daerah kembali mengalami kelelahan luar biasa. Laporan pelanggaran—baik administratif maupun etik—tidak menurun drastis.
Padahal sejak Pemilu 2019, kita telah diingatkan betapa buruknya dampak sistem manual yang kita gunakan, termasuk wafatnya ratusan petugas KPPS kala itu.
Baca juga: Pemilu Dirombak, Demokrasi Direntas
Evaluasi Pemilu 2024 seharusnya bukan hanya berhenti pada rekapitulasi suara, tetapi juga menjadi pintu masuk perombakan desain sistem elektoral Indonesia.
Dalam konteks inilah, e-Voting kembali relevan. Lebih dari sekadar inovasi teknologi, e-Voting harus dibaca sebagai jawaban atas stagnasi demokrasi prosedural, yang terus menyandera integritas elektoral.
Terlebih, rencana revisi menyeluruh terhadap tiga undang-undang sekaligus—UU Pemilu, UU Pilkada, dan UU Partai Politik—menjadi peluang emas untuk memformalkan e-Voting dalam kerangka hukum nasional.
E-Voting merujuk pada sistem pemungutan suara berbasis elektronik—baik melalui mesin voting di TPS, perangkat komputer, maupun aplikasi daring.
Menurut Abdul Basid Fuadi (2020), e-Voting bukan sekadar alat bantu teknis, melainkan representasi dari komitmen negara terhadap modernisasi demokrasi yang lebih inklusif, cepat, dan akurat.
Negara-negara seperti Brasil, Estonia, dan India telah memanfaatkan e-Voting dalam berbagai level Pemilu. Bahkan Indonesia telah mengujicobakan e-Voting dalam Pilkades di Jembrana dan beberapa kabupaten lainnya, yang diyakini mampu menekan anggaran hingga 40 persen dan mempercepat proses hingga 60 persen (Elven & Al-Muqorrobin, 2021).
Pemilu 2024 seharusnya menjadi peringatan serius bagi negara. Bukan hanya karena beban kerja petugas, namun juga karena semakin liarnya praktik politik uang dengan beragam bentuk, termasuk membeli suara (vote buying).
Studi Muhtadi (2019) menunjukkan bahwa 20-30 persen pemilih menerima imbalan dalam Pilkada, dan tren ini terus berulang.
Kecurangan seperti penggelembungan suara, pemalsuan C1, hingga manipulasi rekapitulasi masih marak ditemukan. Sistem manual membuat semua itu sulit dilacak, minim akuntabilitas, dan membuka ruang lebar bagi manipulasi data.
Baca juga: Tujuh Agenda Perbaikan Sistem Politik