KEMUNCULAN Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi dalam pelbagai platform media sosial, baik : Youtube, Instagram, Twitter, Facebook hingga Tik-Tok akhir-akhir ini, banyak memantik perdebatan soal kepemimpinan populis.
Pasalnya, memorabilia masyarakat seolah dikembalikan pada tiga belas tahun kebelakang, kala pertama kali menyaksikan kemunculan Jokowi ke panggung nasional lewat Pilkada DKI Jakarta 2012.
Saat itu, Jokowi berhasil membangun citra positif di mata publik sebagai pemimpin sederhana dan merakyat dengan narasi dirinya terpisah dengan kelompok elite karena tidak lahir dari keluarga berlatar belakang militer, kiai atau presiden sebelumnya yang eksis dalam politik nasional.
Artinya, secara tidak langsung Jokowi mendekonstruksi personal branding presiden-presiden Indonesia pascareformasi yang berasal dari kalangan elite.
Misalnya; Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (1999-2001) merupakan cucu dari Kiai Haji Hasyim Asy'ari yang merupakan pendiri Nahdlatul Ulama (NU).
Megawati Soekarnoputri (2001-2004) adalah putri dari Sukarno. Lalu Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2009) merupakan menantu dari tokoh militer nasional Jenderal Sarwo Edhie Wibowo.
Baca juga: Kebijakan Populis dan Matinya Kepakaran
Tidak hanya personal branding, Jokowi juga aktif mempersonifikasikan kebijakan populisnya, mulai dari melakukan negosiasi dengan pedang kaki lima kala masih menjadi Wali Kota Surakarta, mempromosikan proyek Mobil SMK, rutinitas blusukan dari gang ke gang hingga tanpa ragu masuk ke gorong-gorong lengkap dengan pakaian Korpri untuk meninjau saluran air kala menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Aktivitas Jokowi ini dengan cepat mendapatkan engagement dari para pengguna media sosial dengan keterbelahan interaksi pro dan kontra.
Apalagi pada tahun yang sama dengan kemunculan Jokowi dalam wacana politik nasional adalah masa ketika mulai tumbuh suburnya penggunaan media sosial sebagai media baru dengan konten-konten digital yang menyebar cepat di internet.
Dari situ secara perlahan Jokowi mulai populer dengan tingkat kesukaan dan tingkat penerimaan yang tinggi dari masyarakat.
Nama Jokowi kemudian diproyeksikan PDI Perjuangan menjadi salah satu alternatif dalam sirkulasi kepemimpinan nasional berikutnya.
Puncaknya adalah ketika Megawati mengeluarkan surat perintah harian ketua umum pada 15 Maret 2014, yang isinya pemberian mandat kepada Jokowi untuk menjadi Capres dari PDI Perjuangan di Pilpres 2014. Dan tentu saja, sisanya adalah sejarah.
Kiprah politik Dedi Mulyadi sejatinya tidak jauh berbeda dengan Jokowi. Mereka sama-sama pernah memimpin wilayah kota/kabupaten.
Jokowi pernah menjadi Wali Kota Surakarta (2005-2012), sementara Dedi Mulyadi pernah menjadi Bupati Purwakarta (2008-2018).
Pun pada tingkat pemerintahan yang lebih tinggi keduanya juga sama-sama pernah menjabat gubernur. Jokowi mantan Gubernur DKI Jakarta (2012-2014), sementara Dedi Mulyadi Gubernur Jawa Barat saat ini.