DI TENGAH wacana besar transformasi digital dan kedaulatan data, satu hal justru mencuat dan mengejutkan publik: proyek Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) menjadi sasaran empuk, bukan hanya oleh serangan ransomware, tapi juga oleh korupsi yang kini menyeret sejumlah pejabat ke meja hukum.
Padahal, PDNS dirancang sebagai tulang punggung digitalisasi layanan publik Indonesia.
Alih-alih menjadi simbol kemajuan, PDNS kini jadi bukti lemahnya fondasi infrastruktur digital kita.
Ironisnya, publik lebih mengenal proyek ini bukan karena manfaatnya, tapi karena dua bencana: peretasan yang melumpuhkan layanan, dan dugaan korupsi dalam pengadaan proyeknya.
PDNS adalah bagian dari rencana besar pemerintah membangun sistem cloud nasional yang menyatukan data seluruh instansi pemerintahan.
Baca juga: Terbongkarnya Korupsi PDNS oleh Eks Dirjen Kominfo dkk...
Mengacu pada informasi resmi Kominfo, PDNS digunakan untuk menyimpan, memproses, dan mengamankan data secara terintegrasi dan efisien (Kominfo, 2024).
Namun, infrastruktur yang seharusnya menjadi benteng kedaulatan digital ini justru ambruk oleh kelalaian internal dan serangan eksternal.
Serangan ransomware pada Juni–Juli 2024, memperlihatkan betapa rapuhnya sistem ini. Dua varian ransomware berhasil menembus PDNS dan mengenkripsi ratusan layanan digital publik.
Layanan vital seperti SIM online, sistem kependudukan, hingga portal pajak terganggu secara nasional. Lebih parah lagi, tidak ada sistem backup aktif yang bisa segera memulihkan kondisi—hal yang seharusnya menjadi standar mutlak dalam sistem informasi negara.
Jika sistem sebesar PDNS bisa dilumpuhkan hanya dalam hitungan jam, dan tidak memiliki cadangan data yang layak, lalu siapa yang bertanggung jawab atas keamanan data 270 juta warga negara?
Masalah tak berhenti di serangan siber. Kasus korupsi proyek PDNS kini menyeret pejabat aktif dan pensiunan, diduga terkait pengadaan perangkat dan sistem dalam proyek bernilai ratusan miliar rupiah.
Ini memperjelas satu hal: ancaman terhadap kedaulatan data tidak selalu datang dari luar negeri—tapi juga dari dalam birokrasi itu sendiri.
Padahal, Indonesia sudah memiliki fondasi hukum yang cukup kuat. UU Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE), UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), serta UU Perlindungan Data Pribadi (PDP) menjadi payung regulasi.
Baca juga: Patwal untuk Nail Art: Privilese yang Menyingkirkan Kepentingan Publik
Namun, implementasinya masih lemah karena fragmentasi lembaga, dominasi vendor asing tanpa transparansi, serta nihilnya pengawasan independen.
Negara seperti Estonia menghadapi tantangan serupa dua dekade lalu. Alih-alih menutup diri, mereka membangun sistem terbuka yang transparan.