MENJELANG 100 hari masa kerja para kepala daerah, sejak dilantik pada 20 Februari 2025 lalu, kita perlu mempertimbangkan temuan Survei Penilaian Integritas (SPI) pendidikan 2024, yang dirilis Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Secara keseluruhan indeks integritas pendidikan kita ada di angka 69,50.
Jika merujuk pada klasifikasi resmi dari KPK, angka 69,50 menunjukkan bahwa indeks integritas kita berada di Level Korektif. Angka ini masuk di rentang 55,01 – 70,00, selangkah lagi masuk level Tidak Baik, yaitu 0 – 55,00.
Angka 69,50 sepertinya tampak biasa saja. Seolah-olah tidak terlalu buruk, juga tidak menawan.
Namun, jika serius dipahami maknanya, angka tersebut seharusnya membuat sadar bahwa kita sedang berada di titik rawan kehilangan masa depan kejujuran.
Indeks yang nyaris masuk pada level buruk tersebut bukan hanya gambaran tentang kejujuran di sektor pendidikan pada berbagai levelnya, tapi juga mencerminkan sistem. Potret tentang kurangnya kita “mengopeni” nilai kejujuran, bahkan cenderung mengabaikan.
Baca juga: Dari Bad Boy Billionaires ke Sritex: Skandal Kredit dan Gaya Hidup yang Runtuhkan Sistem
Ditambah lagi kejujuran kini kian tergerus oleh kegemaran kita mengemas narasi keberhasilan. Di saat indeks integritas cenderung buruk dan indeks persepsi antikorupsi terus menurun, keterampilan kita memoles “data menjadi citra” semakin piawai.
Kita sering mengklaim bahwa program pembangunan yang dijalankan telah mencapai 90 persen sasaran. Program mengentaskan ribuan warga dari kemiskinan mencapai 80 persen. Program peningkatan kesejahteraan masyarakat telah mencapai 95 persen.
Di atas kertas, semua gemerlap. Namun, mari sejenak berjalan kaki ke gang-gang sempit kota, menepi ke desa-desa terpelosok, atau berbincang dengan guru honorer yang gajinya kadang tidak cukup untuk membeli susu anaknya.
Di sana, kita tidak menemukan angka 95 persen itu, tapi hanya menemukan “kesabaran”.
Ada jurang yang menganga antara “data pencitraan” dan “data kenyataan”. Ketika grafik keberhasilan disusun atas dasar ingin tampil memukau, maka kita bukan sedang mengelola negara, tetapi sedang membuat pertunjukan.
Memang, tidak ada bangsa yang sepenuhnya jujur. Itu fakta yang tak terbantahkan. Namun, bangsa-bangsa besar di dunia tumbuh dari keberanian mengaku kekurangan secara terbuka.
Konon, Jepang tidak bangkit dari reruntuhan perang dengan memoles statistik, tapi dengan kesadaran atas kegagalan dan ada tekad kuat untuk memperbaikinya. Jadilah negaranya seperti yang kita lihat.
Kita harus mulai beralih dari narasi keberhasilan menuju narasi menghadapi kekurangan. Kita mulai menjadi pejabat (pada berbagai level birokrasi) yang mau mengatakan, “Ya, program ini belum berhasil karena hambatannya adalah A, B, dan C”.
Kita mulai tempatkan angka kebenaran di atas kepentingan (sekalipun mungkin tidak relevan secara politis).